KOMPAS.com
- Yambure Kelenggihang masuk ke dalam bilik kamar di rumahnya di Desa
Manumpitaeng, Kecamatan Manganitu, Kabupaten Kepulauan Sangihe. Ketika
keluar dia telah mengenakan baju berwarna ungu yang mulai pudar.
"Baju ini sudah sangat langka, bahkan bisa dibilang tidak ada lagi yang
asli. Ini yang saya kenakan terbuat dari kulit pisang asli," ujar
Yambure.
Pria berusia 62 tahun itu bersedia ketika diminta untuk
memainkan tangonggong oleh sejumlah fotografer dan akademisi yang
mengunjungi rumahnya.
"Kami sangat beruntung bisa melihat dia
memainkan alat musik tangonggong sambil mengenakan kain kofo," ujar
Ketua Tim Nusa Utara Scintic Photo Hunt (NUSPH), Joppy Mudeng, Senin
(25/8/2014).
Kegembiraan Joppy beralasan. Sebab menurut Yambure,
kain kofo asli kini sudah sulit ditemukan. Kalaupun ada itu tidak lagi
terbuat dari serat pisang sebagaimana yang dikenakan Yambure.
"Makanya
saya menjaga baju yang satu ini dengan baik, walau sudah luntur," kata
Yambure, yang duduk di bangku kayu di teras rumahnya yang sederhana.
Perlu
usaha ekstra mencapai rumah Yambure. Jalanan menurun dan licin harus
dilalui. "Sehari-hari saya bekerja sebagai petani, tapi secara rutin
saya memainkan tangonggong. Jika jiwa saya memanggil, saya akan menabuh
tangonggong ini sambil melantunkan syair sasambo," jelas Yambure sambil
bersiap menabuh tangonggong.
Lalu mengalirlah lantunan syair
magis sasambo dari mulutnya sambil tangannya menabuh dengan gerakan
mistis pada tangonggong yang dipangkunya.
Seketika peserta
NUSPH, yang merupakan kerjasama FORUM F/21 dengan Lembaga Penelitian dan
Pengabdian kepada Masyarakat (LP2M) Universitas Sam Ratulangi,
bersemangat mengabadikan momen tersebut.
Mereka terkesima dengan
paduan harmonisasi syair sasambo dan bunyi tetabuan tangonggong.
"Terasa suasana magisnya," ujar Ketua Komunitas Fotografer Manado, Fird
Pangkey yang ikut larut memotret.
Tangonggong merupakan alat
musik yang terbuat dari kayu keras seperti kayu nangka, linggua atau
gumahe. Bentuknya bulat panjang dengan ujungnya berbentuk lingkaran.
Ujung
yang satunya besar sementara ujung lainnya kecil. Badan tangonggong
berlubang dengan ketebalan dinding sekitar satu centimeter.
"Di
bagian ujung yang besar diberi kulit kambing lalu dijepit dengan
lingkaran rotan. Sekarang sudah sangat sulit cari kulit kambing, dulunya
di sini masih banyak kambing, sekarang terpaksa harus beli dari luar,"
keluh Yambure.
Dulu, kulit kambing yang digunakan tidak bisa
sembarang. Hanya kulit kambing dari kambing yang berusia muda serta
berwarna coklat bercampur putih yang dipakai. Tujuannya agar suara
tangonggong berbunyi nyaring.
Begitu pula dengan kayu yang
digunakan, pengambilannya harus disesuaikan dengan bulan di langit,
yakni pada bulan ke-14 atau ke-15 sesuai dengan tradisi masyarakat
Sangihe dulu.
Yambure bercerita, kini di desanya tersisa 9 orang
penabuh tangonggong. Dan di seluruh daratan pulau Sanger, hanya di desa
merekalah penabuh tangonggong yang asli yang tersisa. Mereka akan
tampil bersamaan jika ada kegiatan di desa atau di kecamatan.
"Kami
juga sering diundang jika ada penyambutan tamu di kabupaten dan ada
upacara adat. Semestinya kami harus bermain setiap saat kami suka," kata
Yambure.
Dia mengkhawatirkan tangonggong suatu saat tinggal cerita, karena generasi kini tidak lagi meminati musik-musik tradisional.
"Saya
belajar dari ayah saya yang mewarisi musik ini dari kakek. Kini saya
juga berusaha mengajarkan anak saya untuk bisa memainkan tangonggong,"
kata Yambure.
Yambure juga berharap, pemerintah daerah memberi
perhatian terhadap kelestarian musik-musik traditional Sanger. Jangan
sampai kearifan lokal tersebut kedepan hanya bisa ditemui di buku
sejarah.
"Di samping tangonggong saya juga memiliki koleksi
musik oli. Musik ini sering digunakan untuk mengiringi tari lide, dan
tidak bisa dimainkan sendiri, harus bersama. Nah kalau tinggal saya,
bagaimana musik oli ini dimainkan," jelas Yambure.
Musik oli
terdiri dari lima jenis alat musik, yaitu sasaheng, ori, arababu dan
bandi. Seperti tangonggong, musik oli kini juga terancam hilang dari
penetrasi musik modern yang digemari hingga ke pelosok-pelosok desa.
source : http://regional.kompas.com/read/2014/08/25/08595541/Yambure.Penabuh.Tangonggong.yang.Semakin.Tersisih
0 comments:
Post a Comment