Selamat Datang di Blog Wisata Sangihe bersama saya Stevenly Takapaha, Ayo ke Sangihe Negeri yang penuh dengan Pesona Mari Jaga dan Nikmati Keindahan Alam Sangihe, Lestarikan Kekayaan Budayanya juga nikmat Kulinernya

Sejarah Sangihe

CERITA  GUMANSALANGI
          Untuk  mendalami  kebudayaan  sangihe, sebaiknya  memahami  sastera lisan sangihe, sastera lisan  sangihe adalah  salah satu bukti peninggalan kebudayaan sangihe masa  lalu yang masih  dilestarikan sampai saat  ini. Dari  beberapa  sastera lisan sangihe yang  paling  melegenda  adalah cerita  Gumansalangi. Dari  cerita  tersebut kita  dapat  melihat   keberadaan sangihe  dari  penduduk  mula-mula sampai   terbentuknya  kerajaan-kerajaan  yang  menjadi  dasar  terbentuknya  sebuah  suku  yang  dinamakan  suku  sangihe. Kisah Gumansalangi  sebagai  penduduk  mula-mula tergambar  secara   utuh   dalam  “Tamo”   karena   tamo  telah  menjiwai kelahiran sangiang  konda sebagai ibu  dari  orang-orang  sangihe. Cerita  Gumansalangi  dan  pembentukan kerajaan  sudah ditulis  banyak  orang  meskipun   hanya   dalam  tulisan-tulisan lepas, bukan  dalam  sebuah  buku   yang sangat lengkap. 
Ada  banyak tulisan yang  dilengkapi  dengan  tahun kejadian,  tetapi belum bisa diakui karena  semua   cerita   tentang   Gumansalangi, tidak  pernah  dibukukan dimasa  lalu  sehingga  terjadi  kesimpangsiuran. Mungkin   cerita  lengkap  tentang  Sangihe boleh ditelusuri  di Belanda untuk  mandapatkan  kepastian yang  lebih ilmiah dan dapat  diakui  oleh  publik  yang  lebih  luas. 
Seperti pepatah mengatakan “tak ada  rotan  akarpun jadi”. Kita sebagai  generasi  baru tidak bisa lagi  menunggu “pemerintah”  untuk  mendanai  penelitian   dan penulisan  tentang  sejarah  dan kebudayaan  sangihe  secara komprehensip. Karena  lebih  banyak  orang  sangihe “ndak” mau  peduli,  dari  pada  yang  terpanggil untuk  berbuat menggali  kekayaan  budaya.
Tokoh   Gumansalangi  sudah diceritakan berabad-abad lamanya di  kepulauan  sangihe  melalui   cerita lisan dari generasi  kegenerasi secara  turun-temurun. Sejak  masuknya  bangsa  Eropa, cerita Gumansalangi   mulai  ditulis  oleh  para budayawan, sejarahwan dan  pemerhati  sejarah  dan kebudayaan  sangihe lainnya dalam  bentuk  tulisan-tulisan lepas.
Cerita  Gumansalangi  pertama  kali  diterjemahkan Desember  1993 di Biola University – Los Angles. Kisah Gumansalangi terbaru  ditulis oleh Kenneth  R. Maryott,  seorang berkebangsaan  Amerika   yang  bekerja  sebagai   dosen  bahasa  Inggris di Philliphin  dalam   buku  yang  berjudul “ Manga wÄ•keng Asaļ ‘u Tau  SangihÄ• “.  Buku tersebut ditulis  dalam  tiga  bahasa,  yaitu  bahasa Sangihe,bahasa Inggris   dan  bahasa  Indonesia, diterbitkan  oleh “ The Committee For The Promotion Of  The Sangir Language, Davao - Phillphiness, 1995. Kenneth  bertindak  sebagai  editor, berdasarkan  penuturan dari Bapak  Haremson E. Juda. Disamping itu terdapat   juga  cerita  tentang  Makaampo.  Cerita  Makaampo pertama  kali  ditulis dan dipublikasikan dengan judul “BÄ•keng  Makaampo (The Story of  Makaampo)” dari  artikel  journal “Majalah Bijdragen tot de taal,- Land – en Volkendkunde, Volume 113 (1957)
Cerita  Gumansalangi berasal  dari kepulauan  Sangihe Talaud, yang  diceritakan  sebagai folklore  atau  cerita  rakyat. (Folklore adalah unsure kebudayaan dari  masa silam yang  menuju  ke ambang  kepunahan). Banyak  cerita  yang  berkembang di kepuluan sangihe  tentang  Gumansalangi tetapi intinya berkisah  tentang penduduk  sangihe pertama. Permasalahannya  adalah Siapa dan  dari  mana asal  Gumansalangi yang sebenar – benarnya. Sampai kapanpun tidak  akan  mungkin  ditemukan kebenaran secarah  ilmiah siapa  Gumansalangi. Penyebabnya adalah belum ditemukan  bukti melalui  naskah  kuno  atau  prasasti  yang menulis atau  memberikan  gambaran  tentang kehidupan  Gumansalangi. Hal  ini  terjadi  juga  pada   beberapa folklore  lain  disulawesi  utara  seperti cerita Toar  dan  Lumimuut dari  Minahasa, cerita Gumalangi  dan  isterinya Tendeduata penghuni  pertama  Bolaang Mongondow, cerita  seperti  ini  tetap  menjadi  legenda.
Kenapa  cerita  Gumansalangi memiliki banyak bentuk,dari alur  cerita  maupun  kesesuaiannya  dengan  sejarah Sangihe. Hal  ini  disebabkan  oleh beberapa  hal  yaitu : Cerita  Gumansalangi  merupakan  sastera lisan,  yang  hanya diceritakan dari  mulut ke mulut, keadaan ini memungkinkan terjadinya berbagai  perubahan. Perubahan dapat  terjadi berdasarkan siapa  yang   pertama mengisahkan, siapa  yang  mendengarkan, kepada  siapa  kisah  itu  diturunkan dan  dilingkungan  apa     cerita  itu dikembangkan.
Berdasarkan  beberapa  cerita yang berkembang  dimasyarakat  sangihe terdapat  beberapa cerita  berdasarkan tempat  dimana  cerita itu  berkembang  diantaranya ;  Cerita  Gumansalangi  versi Siau, Cerita  Gumansalangi  versi Talaud, Cerita  Gumansalangi  versi pulau Sangihe besar. Dikalangan  orang  sangihe sendiri   terdapat beberapa  bentuk, seperti versi  cerita  Gumansalangi  dari  orang-orang  yang ada  di  bekas  kerajaan  Tabukan  dan  diluar  kerajaan  Tabukan. Diantara   beberapa  versi  tersebut dapat  dipaparkan  beberapa versi yang memiliki perbedaan.
  1. Versi  pertama (versi  siau)
Gumansalangi  adalah   kulano   pertama di Pulau  Sangihe   besar. Gumansalangi bersiteri Ondaasa yang disebut juga Sangiangkonda atau  Kondawulaeng. Gumansalangi   adalah Putera  Mahkota  dari   kesultanan Cotabato,Mindanao Selatan akhir  abad ke XII. Mereka  diperintahkan untuk   pergi  ketimur   oleh ayah   Gumansalangi dengan maksud   supaya   mereka  dapat   mendirikan   kerajaan   baru. Berangkatlah   mereka dengan   menunggangi   ular  terbang  sampai  ke   Pulau  Marulung (pulau  balut), kemudian  keselatan menuju  pulau Mandolokang  (pulau  Taghulandang) dipulau   ini  mereka  tidak   turun tetapi melanjutkan   perjalanan   ke  pulau lain melewati pulau Siau dan  turun di pulau  Sangihe   besar.
Dalam  perjalanan, ikut  pula  saudara  laki-laki  dari Kondaasa bernama  Pangeran   Bawangunglare. Mereka  lalu  mendarat di pantai  Saluhe. Dikemudian  hari   nama Saluhe berubah  menjadi  Saluhang  dan kini   menjadi Salurang.
Karena   Gumansalangi   adalah  seorang  bangsawan  maka   tempat   tersebut  dinamakan  Saluhang yang   berararti  ”dieluk-elukan” dan  dipelihara   supaya   dia   bertumbuh dengan   baik dan  subur. Sejak kedatangan Gumansalangi  dan  Kondaasa di saluhe,  selalu  saja   terdengar gemuruh dan terlihat   kilat yang   datang  dari  gunung. Gumansalangi  lalu diberikan gelar  Medellu yg   berarti  Guntur dan Kondaasa diberikan gelar Mengkila yang   berarti  cahaya   kilat. Gumansalangi  dan  Kondaasa memiliki  dua   orang   putra  bernama  Melintangnusa dan  Melikunusa.
Gumansalangi   lalu   mendirikan kerajaan pada   tahun 1300. Wilayah   kerajaannya sampai ke  Malurung (Pulau  Balut / Philliphina).Saudara  laki-laki Kondaasa melanjutkan  perjalanan ke kepulauan Talaud tepatnya  di  pulau  Kabaruan.   Sampai   saat   ini  tempat yang  pertama  kali  diinjak   oleh   Pangeran Bawangunglare, dinamakan  Pangeran.
Gumansalangi menyerahkan   waris  raja  kepada anaknya yang sulung Melintangnusa pada  tahun 1350. Anak  bungsu Melikunusa   mengembara  ke  Mongondow dan memperisteri Menongsangiang  putri  raja Mongondow.Melikunusa meninggal di Mongondow sedangkan  Melintangnusa   meninggal  di Philliphina  pada  tahun 1400. Sesudah   wafatnya Malintangnusa,  kerajaan terbagi  dua  yaitu kerajaan  Utara  bernama  Sahabe  atau Lumage  dan  kerajaan  Selatan   bernama Manuwo atau   Salurang. (dari  beberapa  catatan lepas pemerhati   sejarah  sangihe).
  1. Versi  kedua
Terbentuknya   kerajaan pertama  Sangihe berakar   dari cerita   tentang  Gumansalangi.  Humansandulage  beristeri  Tendensehiwu dan memperanakan Datung Dellu. Datung Dellu bersiteri Hiwungelo dan memperanakan Gumansalangi.
Gumansalangi,  setelah mempersunting Ondaasa berlayar  dari  Molibagu melalui  pulau Ruang,Tagulandang,Biaro,Siau terus  ke Mindanao kemudian  kepulau Sangihe, mereka  tiba di Kauhis lalu mendaki Gunung Sahendarumang dan  berdiam  disana  sampai terbentuknya  kerajaan Sangihe  pertama bernama Tampungang Lawo pada  tahun 1425.
( Iverdikson Tinungki dalam  tabloid  Zona  utara )
  1. Versi  ketiga 
Gumansalangi  adalah anak seorang  raja  dari  sebuah  kerajan  kecil  diwilayah Philiphina  bagian  selatan.  Ibunya  meninggal  ketika Gumansalangi  masih  kecil. Raja  kemudian menikah  lagi  dengan  perempuan  lain  dan  melahirkan seorang  puteri. Pada suatu pesta sang  puteri atas  perintah  ibunya mempengaruhi Raja  dengan  sebuah  permintaan dan  berkata ”harta  kekayaan  tak penting  bagiku yang  kuinginkan adalah agar Ayah dapat membunuh Gumansalangi. Permintaan ini  dilakukan  agar  tahta  kerajaan tidak  jatuh  ketangan Gumansalangi.
Keinginan itu  diketahui   oleh Batahalawo dan  Batahasulu atau  Manderesulu orang sakti  kerajaan pengikut Gumansalangi,  mereka  lalu  meberitahukan rencana  itu  pada  Gumansalangi. Batahalawo kemudian melemparkan ikat  kepala ( poporong ) kelaut yang  kemudian  menjelmah  menjadi   Dumalombang  atau ular  naga besar. Dumalombang membawa  terbang Gumansalangi  dan  tiba di Rane dan  tebing Mênanawo lalu mengitari bukit Bowong Panamba,Dumêga dan Areng kambing. Setibanya  ditempat  yang  baru, setiap malam  Gumansalangi  hanya  mendengarkan  suara burung  pungguk  atau  Tanalawo, arti  lain  dari  Tanalawo  adalah  Pulau  Besar.
Pada   suatu  senja  digubuknya  kedatangan  seorang  nenek  yang memerlukan tempat  berteduh. Malam  berikutnya  dia  didatangi  lagi seorang gadis  cantik. Dua persitiwa membingungkan hati  Gumansalangi. Disaat  tenang   terdengar suara  yang  berkata ambilah  telur  dipucuk  pohon  yang  besar  itu  dan  jangan  sampai  pecah.  Ditebangnyalah  pohon  tersebut sampai  mendapatkan  sebutir  telur. Telur  itu  kemudian pecah dalam  perjalanan  pulang,  dari  telur  itu  keluar  seorang puteri cantik  yang  kemudian  dikenal dengan  nama  Konda Wulaeng atau Sangiang Ondo Wasa ( puteri perintang  malam ) putri khayangan. Mereka  menikah lalu  dinobatkan menjadi Kasili MÄ›dÄ›lu  dan  Sangiang MÄ›ngkila yang  berarti Putra  Guntur dan  Putri  Kilat. Dinamai  demikian  karena pakaian  sang  putri  berkilau  seperti  emas dan pertemuan  mereka  ditandai  gemuruh  dari langit.  Cerita  ini  juga menjadi bagian  dari  lahirnya  nama sangihe, dan menjadi  inspirasi  untuk pemotongan  kue  adat Tamo.
( Toponimi,Cerita  rakyat, dan  data  sejarah dari  kawasan  perbatasan Nusa Utara, Sub Dinas kebudayaan kab.Kepl. sangihe, 2006 )
  1. Versi  ke  empat
Tahun 1300, Pangeran Gumansalangi dibuang  oleh orang tuanya dari Cotabato – Mindanao, jauh ketengah hutan. Gumansalangi dibuang karena  tabiatnya buruk. Ditengah   hutan Gumansalangi menyadari  kesalahannya sambil  menangis-nangis dan  tangisannya  terdengar sampai  kekayangan. Dia lalu ditolong oleh  raja  dari kayangan dengan  mengirim putri bungsunya bernama konda kebumi  untuk menemui  Gumansalangi dalam  penyamaran  sebagai  seorang  perempuan  yang  berpenyakit kulit.
Gumansalangi  mengajak   perempuan itu   untuk  tinggal  bersamanya.  Tapi  beberapa hari kemudian sang  putri  menghilang karena  kembali  kekhayangan. Dua  kali  putri  melakukan  hal  itu  kepada  Gumansalangi.  Ketiga kalinya sang  putri datang lagi  dalam  rupa  putri  cantik atas  perintah ayahnya. Sejak  saat  itu mereka  menjadi  suami  isteri.
Setelah  menikah, atas  perintah  sang raja khayangan  mereka  disuruh keluar  dari  hutan  tersebut. Kepergian mereka  ditemani oleh kakak sang  putri bernama Bawangung – Lare yang menjelmah  menjadi  seekor naga. Mereka  berangkat ketimur  dan  sampai  ke  pulau  Marulung (pulau  balut  sekarang) Ditempat  ini  mereka  tidak   turun  karena   tidak  ada  tanda  seperti  yang  disampaikan  oleh  ayah  mereka.Tanda-tanda  tersebut  adalah nampak  kilat saling menyambar  dan  gemuruh. Perjalanan di  lanjutkan  melewati  Pulau Mandalokang (Pulau  taghulandang  sekarang)  mereka  tidak  menetap  disana  karena  tidak  ada  tanda dan  terus ke pulau  Karangetang disana  tidak  juga  terlihat  tanda. Perjalanan dilanjutkan  ke pulau  Tampungang Lawo menuju  ke  gunung Sahendalumang.  Di puncak  gunung, mereka  menemukan  tanda   berupa  kilat dari  atas  dan  gemuruh  dari  bawah. Berdasarkan  titah  sang  ayah,  menetaplah  mereka di  tempat  itu.  Gumansalangi  diangkat menjadi  raja  dengan  gelar   Medellu  yang  berarti bagaikan  gemuruh, sedangkan  Putri  Konda  dijuluki Mengkila yang  berarti putri  kilat.  Kerajaan  itu  bernama  kerajaan  Tampungan Lawo.
Tahta  kerajaan  kemudian  diserahkan kepada  anaknya yang sulung   Melintangnusa  tapi  kemudian  Melintangnusa pergi  ke Mindanao  dan menikah  dengan putri Mindanao bernama  Putri HiabÄ• anak  dari raja tugis. Adiknya Melikunusa pergi ke daerah Bolaang Mongondow dan  menikah  dengan  putri Mongondow bernama Menong Sangiang.
Tahta kerajaan dari Melintangnusa digantikan  oleh  anaknya Bulegalangi.  ( sumber cerita  dari Bapak H.Juda dalam buku “ Manga wÄ•keng Asaļ ‘u Tau  SangihÄ• “). 
Melihat  penyampaian syair  umum   dalam  berbagai sasalamate tamo yang diturunkan  sejak  masa lalu,  memberikan  gambaran tentang usaha   Gumansalangi  memecahkan  masalah  dan akhirnya  mendapatkan  apa  yang  diinginkan. Tentang telur pada  pucuk  tamo  sudah  dijadikan  hiasan utama  pada   tamo  masa lalu  sbagai  simbol  kehidupan   baru  yang  diamanatkan  dalam  kisah  Konda Wulaeng. Jika  pemaknaan  filosofi  Tamo  adalah   gambaran Gumansalangi dan  konda wulaeng  maka kemungkinan   besar,  dari  beberapa  versi  cerita  Gumansalangi  diatas yang  paling  bersesuaian  adalah versi  ke tiga.
SEJARAH PERKEMBANGAN MASYARAKAT  SANGIHE
  1. Arti  nama  sangihe
Sangihe  adalah daerah  kepulauan, yang dahulunya satu  bagian  dengan  kepulauan  Talaud dan  Kepulauan Sitaro dalam  sistem pemerintahan kabupaten. Saat  ini  Kepulauan  Talaud  dan Kepulauan  Sitaro ( siau, taghulandang,biaro ) terpisah, dan  membentuk pemerintahan kabupaten yuang  baru. 
Luas  kepulauan  sangihe adalah 2.263,95 km persegi (ensiklopedi  nasional  indonesia). Terletak  antara 125,10⁰  sampai  127,12⁰  bujur  timur  dan 2,3⁰ lintang  sampai 5,2⁰ lintang  utara. Secara  Geografis, kepulauan  sangihe berbatasan, sebelah  utara dengan perairan  laut  philliphina,sebelah  selatan dengan  selat  talise - perairan  laut  minahasa,sebelah  barat dengan  laut  maluku, sebelah  timur  dengan  laut  sulawesi.  Sangihe merupakan   daerah vulkanis  karena berada  pada  jalur pegunungan sirkum  pasifik  yang  menghubungkan  jalur philiphina,ternate,tidore sulawesi utara dan  sulawesi  selatan. Hal  ini  dibuktikan dengan adanya  gunug  api seperti  gunung awu di pulau  sangihe,gunung karangetang di pulau siau,gunung ruang di pulau  ruang taghulandang,gunung api  bawah  laut mahangetang. Sangihe dikenal sebagai  sangir atau sanger oleh  suku-suku  lain di Sulawesi utara.                                              
Kemungkinan besar penggunaan  nama  sangihe berhubungan dengan  kata  sangi’  berarti  sumangi, sasangi, sasangitang, makahunsangi, mahunsangi, masangi, semua kata  ini merujuk  pada arti tangis dan sedih. (sangiress nederlands woordenboek met nederlands sangiress register, Mr.K.G.F.Steller-Ds.W.E.Aebersold). Kata  Sangihe dapat dipilah  dari  dua  kata  yang  diartikan  secara  harafiah yaitu : Sangi dari kata sangiang yang  berarti Putri Khayangan, Ihe  atau  uhe berarti Emas. ( Toponimi,cerita rakyat dan data sejarah dari kawasan  perbatasan nusa utara).  Kata sangi’ dapat juga ditemukan sebagai nama tempat di pulau lapu-lapu kepulauan philliphiness,afrika dan india.(Encarta 2007). Pelaut Eropa  menyebut daerah  kepulauan  Sangihe Talaud dengan  nama  Sanguin. Pelaut-pelaut  china dalam  satu ekspedisi yang dipimpin laksaman Ceng Ho menyebut  daerah  kepulauan  sangihe  dengan  nama Shao San. (Iverdixon Tinungki,Tabloid Zona  Utara). Dalam  bahasa  Tountembouan, kata Sangir berarti mengasah dengan  menggunakan  batu  asah. Tempat  untuk   mengasah  benda  tajam  disebut  pasangiran.
Sampai  saat  ini belum  ditemukan   data  secara  pasti  sejak kapan  kata  sangihe mulai digunakan  sebagai  nama kepulauan yang   didalamnya  hidup ethnis sangihe. Muhamad Yamin dalam buku Atlas  Sejarah sudah menulis  P. Sangihe sebagai  daerah  kekuasaan kesultanan  Ternate  sampai tahun 1677 sebelum  diserahkan  ke VOC.  Dalam   catatan-catatan  lain  mengatakan    bahwa sangihe  adalah  Nusa Utara. Kepulauan Sangihe dan Talaud pernah menjadi  wilayah konsentrasi  pasukan  Majapahit. Kedatangan  pasukan  kerajaan  majapahit  di  utara  Indonesia terutama  di  Kepl.Talaud  antara  tahun 1350 sampai 1365.   Masa  ini dihitung  sejak  Hayam Wuruk berkuasa  di  kerajaan Majapahit dan   mencapai kejayaan. Thn  1365  adalah  tahun  wafatnya  Gajah  Mada.
  1. Penduduk  Mula - Mula 
Manusia  Sangihe  pertama  berdasarkan Legenda dan cerita lisan, terdiri  dari 4  jenis  yaitu:
Manusia Apapuhang. Apapuhang  adalah jenis   manusia  pertama dalam  legenda   Sangihe yang   pernah   hidup   di   pulau  Sangihe. Mereka hidup dicabang  pohon. Persebaran  manusia apapuhang  berada di Utaurano antara  Mangehesê dan Bowongkalaeng. Disebuah  lembah  yang  sekarang  dikenal dengan  nama balang apapuhang, kecamatan  Tabukan  Utara. Bentuk fisik  Apapuhang, tubuhnya pendek, kerdil. Suku  Apapuhang   memiliki   kerajaan di  bawah   bumi.  Untuk   dapat   masuk  di  kerajaan  Apapuhang   harus  melewati   pintu  gerbang   yang  berada   tepat  di belakang air  terjun  Apapuhang di  Kampung Lenganeng (Wawancara dengan Bapak Radangkilat thn  1994) Semua benda  di  kerajaan  Apapuhang  terbuat  dari  emas.
Manusia Tampilê  Batang, Hidup diakar  pohon  besar  yang  tumbang. Persebaran   penduduk  ini tidak  diketahui.
Manusia Pêmpanggo (manusia  jangkung)  Tidak memiliki  tempat  tinggal  tetap. Persebaran  penduduk  ini  tidak  diketahui.
Manusia Angsuang. Angsuang  adalah   raksasa  dalam bahasa  sangihe.Cerita   tentang   manusia   ini menjadi   Legenda di kampung-kampung  yang   berada  dikaki   gunung Awu. Angsuang adalah  tokoh  dalam  legenda Gunung  Awu, yang  menceritakan   proses  terjadinya   letusan   gunung  berapi.
  1.   Nenek  moyang  penduduk  kepulauan Sangihe
Dr. Peter Beltwood dari Australian National University Departement of  Prae-history  bekerjasama dengan pihak permuseuman kantor  pendidikan  dan  kebudayaan yang  diwakili  oleh Drs. I. Made  Sutayasa  pada  bulan  Juni  sampai  Juli 1974 telah  mengadakan  penggalian dikepulauan  sangihe dan  talaud. Dari  hasil  penggalian ditemukan  taring dan gading hewan purba,gerabah bermotif, flakes, kerangka  manusia  purba  (di goa Bowoleba  Manalu).Temuan itu memberikan gambaran bahwa sudah ada  kehidupan di kepulauan   sangihe dan talaud    sejak  kurun   waktu  5000 tahun silam. (Toponimi,cerita rakyat dan data sejarah dari kawasan  perbatasan nusa utara)
Tim  arkeologi  nasional    melalui   balai  arkeologi  manado dalam laporan penelitian arkeologi,  “kajian  permukiman dan  mata  pencaharian hidup  manusia  masa  lalu di kepulauan  sangihe dan  talaud   sulawesi  utara”  mendapatkan  hasil  bahwa  sudah  sejak  lama  ada  kehidupan  di  kepulauan  Sangihe  dan Talaud.
Robert C. Suggs dalam  buku “ Island Civilization of Polynesia”,  ( John Rahasia “Penemuan  Kembali  Tagaroa “,  1975 ) mengungkap bahwa sejak ± 2000 – 1700 sebelum  Masehi terjadi tekanan  politis  militer China  dan  Mongolia dari  bagian  utara  daratan  Asia yang  mendesak  penduduk di  lembah  Mekhong di daerah  Yunnan (Viet Nam) untuk pindah. Penduduk yang  tinggal  di  lembah  Mekhong menjalani  tiga  macam  situasi yaitu : Mereka  yang  lemah  dan  tunduk, dikuasai  dan  diasimilasikan  dibawah peradaban,kebudayaan  dan  kekuasaan China – Mongolia.Mereka  yang  lemah  tetapi  mengadakan  perlawanan,dihancurkan  sampai  keakar-akarnya, sehingga  tidak  berbekas.Mereka  yang  tidak  mau  tunduk terpaksa  meninggalkan daerah asalnya dan  merantau keluar. Ketepi  laut  China  Selatan ke Philliphina, Nusantara, melalui Mikronesia dan  Melanesia sampai  ke kepulauan  Hawaii, pulau  Paskah, Selandia  baru di Polynesia dan  ada  juga  yang ke  Madagaskar, Timur Afrika.
Periodisasi persebaran penduduk di China akibat   masalah  diatas dapat dikelompokan  sebagai   berikut ;
  1. Continental riverine migrations,  yaitu penyebaran di daerah daratan  Asia disektar  sungai  mekhong
  2. Coastal maritime migrations, yaitu penyebaran di daerah pesisir  vietnam atau  tepi  laut cina  selatan.
  3. Insular Maritim  migration, yaitu  penyebaran  antar  pulau dalam wilayah kepulauan  Taiwan, Jepang, Philliphines, Indonesia.
  4. Insular oceanic maritime  migrations, yaitu: penyebaran antar  pulau sambil  mengarungi samudera  Nusantara  dan ke  Madagaskar.
Migrasi  nenek  moyang Nusantara terdiri  dari  dua  tahapan  yaitu :
Migrasi pertama  tahun  1700 - 1500 sebelum  Masehi dinamakan proto melayu. Migrasi  ini membawah  kebudayaan  Batu baru / neolitikhum yang  berpusat  di Bascon hoabin Indo china. ( kebudayaan  kapak  lonjong  dan  persegi ). Yang  termasuk keturunan  proto  melayu  adalah : suku  toraja  dan  dayak. Migrasi kedua  tahun  700 - 300 Sebelum  Masehi dinamakan Deutro Melayu yang  membawah kebudayaan  logam. Kebudayaan  ini berpusat di Dongson. Yang  termasuk  keturunan deutro  melayu  adalah  suku Jawa  dan  Bugis.
Penduduk Sangihe  dan  Talaud termasuk  ras Melayu Polynesia. Asal  perpindahan  mereka  dari  Utara  Mindanao dan  lainnya  berasal   dari  Ternate.  Suku  bangsa  Sangihe dan  Talaud termasuk suku  bangsa Polynesia  dan  sebagian  besar termasuk dalam  suku  Austronesia (Prof. J. C. van  Erde, dalam catatan tentang  kebudayaan  Sangihe-Talaud, Gideon Makamea,2008 ).
Penduduk  Sangihe, tidak  dapat   ditentukan  dengan  pasti asalnya. Diperkirakan  mereka  berasal  dari Philliphina dan  Sulawesi Utara hal ini didasarkan   dari  bahasa yang  ada  di Sangihe dan  Talaud, Philliphina  dan  Minahasa  memiliki  banyak  kesamaan. (Breuwer 1918 ; 771,dalam catatan tentang  kebudayaan  Sangihe-Talaud, Gideon Makamea,2008 ) Penduduk sangihe  sendiri  beranggapan  bahwa nenek  moyang  mereka  berasal  dari  utara.
Untuk  mengetahui siapa nenek  moyang pendatang  dan  siapa nenek moyang  penduduk  asli  dapat  dilihat  melalui   beberapa  ras  dunia yg  akan  menunjukan  keberadaan  nenek  moyang suku sangihe.Ras Kaukasoid terdiri   dari, Nordik (Eropa  utara/ Jerman), Alpin (sebagian besar  bangsa  Eropa), Mediterania (Timur tengah  / Arab), Indic (India). Ras Mongoloid terdiri  dari, Asiatik Mongoloid (China,Jepang,Korea ), Malayan  mongoloid (Melayu), American Mongoloid (Indian). Ras Negroid terdiri dari,   African Negroid (negro Afrika), Negrito (penduduk Asli Philiphina).Ras khusus seperti ;  Australoid/penduduk asli Australia, Polynesia/bangsa Pasifik, Melanesia/Papua pasifik, Micronesia / Pasifik, Ainu/penduduk asli Jepang, Dravida/penduduk asli India, Bushman / Afrika selatan.
Bangsa  Melayu   terdiri  dari 4 Suku  bangsa yaitu :  Malaysia, Indonesia, Orang negrito, dan Papua (Encarta 2005).  Dapatlah  disimpulkan  bahwa penduduk  Sangihe  asli  ditinjau  dari etnik, dan  legenda, bukanlah  orang  Indonesia tetapi merupakan  bagian dari suku bangsa  negrito. Karakter fisik ras   Negrito  adalah :   mata  tidak  sipit,warna  kulit  gelap  kehitaman,  postur  tubuh tinggi  rata-rata 130  cm.
Sebelum  terjadi  migrasi  besar-besaran  dari  daratan  china, di Nusantara  sudah  ada penduduk  yaitu : Wedoid  dan Negrito. Sisa-sisa  suku  wedoid  adalah : suku Sakai di siak, suku kubu di jambi,suku lubu di palembang. Sisa-sisa suku negrito sudah  punah. Ras Negroid termasuk juga sub  ras africa negroid (Negro Afrika) dan negrito penduduk  asli  Philliphina. Negrito adalah  nama  yang  diberikan  oleh orang-orang  Eropa untuk  membedakannya  dengan Negro Afrika.
Karakter fisik penduduk  sangihe  ditinjau  dari   asalnya terdiri  dari ;
  1. Sama dengan penduduk dari persebaran migrasi china, penduduk asli Sangihe termasuk dalam Ras Malayan Mongoloid atau  keturunann proto  melayu  jalur  selatan.
  1. Penduduk  sangihe dipandang  dari  sisi  Legenda  berarti penduduk  Sangihe  pertama berasal dari  philipina. Penduduk  asli  philipina seperti  suku aeta,agta termasuk dalam ras  khusus  dunia  yaitu Ras Negrito.
Berdasarkan  cerita  lisan  yang  sudah  terwaris turun  temurun  bahwa nenek moyang orang  sangihe  adalah  Gumansalangi. Gumansalangi diberikan  gelar  Kasili Medellu ( pangeran guntur ) dan Konda asa bergelar Sangiang Mengkila atau  Konda wulaeng yang  berarti putri cahaya.
PENINGGALAN  KEBUDAYAAN  PRA  SEJARAH
Kebudayaan  adalah  komplikasi (jalinan) dalam  keseluruhan  yang  meliputi pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, keagamaan, hukum, adat istiadat, serta  lain-lain  kenyataan dan  kebiasaan-kebiasaan  yang  dilakukan  manusia   sebagai  anggota  masyarakat. Kebudayaan  adalah  salah  satu  ciri  yang   membedakan  antara  manusia   dengan  binatang.Kebudayaan sangihe memiliki semua unsur -  unsur  kebudayaan yang ada.
Terhitung  sejak  mithology  tagharoa, maka  kebudayaan  Sangihe purba  dimulai sejak tahun 3000  sebelum  masehi dan  berakhir   sesudah  saman  logam (nusantara). Mithologi  tagharoa  adalah  mithology  Pasifik.  Sebagian  peninggalan saman purba  dari saman  batu masih  dapat  dilihat  di  kepl, sangihe.
Secara tipologi peninggalan bersejarah di sangihe, membuktikan  bahwa benda-benda tersebut  memang  berasal  dari  saman purba, meskipun sampai saat  ini  belum  diketahui  secara  jelas tentang fungsi  dan  umur  dari  benda tersebut. ( Tipologi  adalah  suatu  cara   untuk  menentukan umur benda budaya berdasarkan bentuknya. Makin  sederhana benda budaya  makin tua  umurnya )
Gong dalam bahasa  sangihe  adalah  Nanaungan. Berfungsi  sebagai musik pengiring  upacara  keagamaan  dari  saman   logam.
KEHIDUPAN BERAGAMA DAN  
KEPERCAYAAN  SUKU  SANGIHE
Kehidupan  beragama  pada dasarnya  merupakan kepercayaan terhadap  keyakinan adanya  kekuatan gaib,luar biasa atau  supranatural yang  berpengaruh  terhadap  kehidupan individu dan  masyarakat, bahkan  terhadap  segala  gejala alam. Mempercayai sesuatu  sebagai  yang suci atau  sakral adalah  ciri khas kehidupan  beragama.(Busstanudin Agus, Agama  dalam  kehidupan  manusia,50,2005).
Manusia beragama karena  beberapa hal yaitu ; Tidak  mampu  mengatasai bencana alam,tidak  mampu melestarikan sumber  daya dan  keharmonisan  alam,tidak  mampu mengatur  tindakan  manusia untuk  dapat  hidup  damai satu  sama  lain dalam  masyarakat. (Evans-Pritchard, dalam Busstanudin Agus, Agama  dalam  kehidupan  manusia,50,2005)
Kepercayaan  ialah  sistem  keyakinan yang  dianut oleh seseorang atau  masyarakat dan  menjadi  dasar  orientasi  dan  prilakunya. Unsur yang  biasanya terkandung dalam  kepercayaan ialah : mithos,ketuhanan,manusia,alam semesta,doa,mistisisme, magi dan  tujuan  kehidupan. ( D.J. Walandungo, Tesis,Islam Tua Terpasung dan Merana,2002).
  1. Masa Sundeng
Jauh  sebelum   terbentuknya  kerajaan pertama,  suku        sangihe  sudah menganut sistem  kepercayaan.  Kepercayaan yang  dianut suku  sangihe  dimasa  lalu tidak dapat dipastikan  seperti apa.      D. Brillman  dalam  bukunya Onze zending velden De zending op de sangi-en Talaud – eilanden menjelaskan  bahwa  sampai  abad  ke – 16 terdapat   sistem  kepercayaan  yang  disebut “ kepercayaan mana “.  Mana  adalah  kekuatan  yang  menonjol,yang  menyimpang  dari kekuatan  yang   biasa, kekuatan ini hadir secara  gaib  di mana –mana (sakti). Pendapat  umum, mengatakan  bahwa kepercayaan suku  sangihe  dikelompokan  sebagai kepercayaan  animisme. Animisme  adalah  suatu  kepercayaan  mengenal  adanya roh-roh dan  mahluk-mahluk  halus yang  mendiami  seluruh  alam  semesta. Selain  pendapat  diatas,  suku  sangihe dimasa lalu  juga  menganut   fetis atau  pemujaan  terhadap  benda-benda alam  maupun buatan  manusia yang  diisi  dengan  kekuatan  gaib, jika benar fetis,  berarti  agama sangihe purba  juga  beraliran dinamisme.    (Dr. Harun Hadiwijono, Religi suku murba di Indonesia,2006
Beberapa  pendapat  tentang   kepercayaan  sangihe dapat dilihat  melalui  aktifitas keagamaan  masa lalu. Masyarakat  sangihe   mengenal beberapa  ritual  keagamaan seperti ritual  mÄ›sundeng. Sundeng  bukan   hanya  sekedar  ritual keagamaan tetapi sebagai  sebuah komunitas yang  didalamnya  terdapat suatu  kehidupan budaya dan sistem kemasyarakatan yang  memiliki   hubungan   dengan  sebuah kekuatan   yang  dianggap  lebih  berkuasa dari komunitas  tersebut.  
Komunitas ini  mengatur  adanya  pemimpin agama  yang di sebut Ampuang. Ampuang  bertindak  sebagai  orang yang  berkedudukan  tertinggi  dalam  komunitasnya. Dalam  menjalankan aktifitasnya   ampuang  dibantu  oleh  para  tatanging dan  para  bihing. Penetapan kedudukan dalam  komunitas  sundeng dilakukan  melalui  proses pemuridan atau bawihingang.
Kegiatan utama ritual  mÄ›sundeng  adalah menalÄ›  atau  mempersembahkan sesaji. Pada awalnya pemberian sesajen dilakukan  dalam  bentuk  pengorbanan yang  mengorbankan manusia kepada   penguasa  alam. Ritual  sundeng tidak  dilaksanakan ditiap  kampung tetapi  dilaksanakan dalam  suatu pusat  penyembahan yang  disebut  penanaruang.Terdapat tempat  pelaksanaan  ritual sundeng  yaitu di  manganitu, pananaru,pulau  mahumu dan beberapa  tempat  lain. Pusat penyembahan  terbesar   terdapat di  kampung  Pananaru kecamatan  Tamako. Pelaksanaan  ritual  sundeng dihadiri  oleh perutusan  komunitas   sundeng terkecil dari  tiap  kampung. Tidak   semua  komunitas sundeng  memiliki  ampuang  ataupun tatanging, kebanyakan  dari  komunitas  kecil  hanya  memiliki  seorang bihing.
Secara garis  besar, tata cara  pelaksanaan  kegiatan   menalÄ›  dimulai  dari   berkumpulnya  para anggota komunitas sundeng melalui  perutusannya. Duduk melingkar berdasarkan   kedudukan  dan peran dalam  kegiatan penyembahan. Mempersiapkan  seseorang  yang  akan  dikorbankan. Meminta   petunjuk  dari penguasa alam. Setelah direstui  ditikamlah  satu  orang yang  sudah dipersiapkan dengan  alat yang  bernama  kenang. Diyakini  jiwa  sang  korban menuju  tempat  lain. Berpindahnya  jiwa korban diantar  melalui prosesi budaya seperti  tari  lide’, bunyi-bunyian  alat  musik  oli’ disertai tagonggong dan  nanaungang. Setelah  semua  kegiatan selesai, semua peserta makan  bersama.
Komunitas sundeng  meyakini  adanya   kekuatan  yang   melebihi  kekuatan  mereka, untuk itu mereka mempersembahkan korban  sebagai  bentuk  hubungan antara manusia  dan  sang  penguasa   alam. Kekuatan   yang   melebihi  kekuatan  manusia  dalam  komunitas sundeng  berupa kekuatan tidak  terlihat atau roh. Kekuatan tersebut terdiri  dari  tiga unsur roh yang dibedakan  dari orang-orang  yang menyembahnya yaitu Ghenggonalangi, Aditinggi dan Mawendo. Ghenggonalangi  adalah  kekuatan yang  berkedudukan  setinggi langit  yang  menguasai seluruh bumi. Aditinggi adalah  kekuatan yang  berkedudukan  didaratan tertinggi, yang disembah  oleh  orang  - orang di perbukitan. Mawendo  adalah  kekuatan yang  berkedudukan  dilaut  yang   disembah   oleh orang-orang dilaut  dan  dipesisir  pantai.
Pada  saat  ritual  sundeng masih  dijalankan  dalam  sebuah  komunitas   sundeng maka  muncullah sebuah  ritual yang  disebut  mÄ›daroro. Inti  dari  ritual  ini  adalah mencari dan menemukan petunjuk dari roh  leluhur yang sudah  mati. Ritual inilah  yang ditafsir oleh D.Brillman  dalam  buku (Kabar baik  dari bibir pasifik,terjemahan) sebagai agama  orang  sangihe. Ritual  medaroro masih dilaksanakan di  pananaru  sampai  tahun  1976 (wawancara  dengan  tua  kampung  pananaru,thn 2007), di Manganitu sampai  tahun 1960-an (wawancara   dengan bpk. Garing,bapak Ulis).
Konsep dan  tata cara  pelaksanaan  ritual medaroro masih  diadaptasi  dari ritual  sundeng termasuk lokasinya. Dikemudian  hari  lokasi  pelaksanaan  medaroro sudah  dilaksanakan di  kampung-kampung  dalam  komunitas  kecil yang   dulunya  adalah komunitas  kecil sundeng. Yang  membedakan  antara  sundeng   dengan  medaroro  adalah persembahan  korban tidak  lagi  menggunakan manusia  tetapi menggunakan  babi. (wawancara dengan tua  kampung, Nahepese, Bengka, Karatung, Kauhis, 2001 – 2007). Digantinnya  korban  manusia  dengan  babi, dimulai pada  saat  masuknya bangsa  eropa di  kepulauan  sangihe. Pada  akhirnya  persembahan korban  dalam  ritual  medaroro diganti  dengan  persembahan  sesajen nasi  kuning dengan  lauknya.(wawancara  dengan bpk. G. Makamea,2007).  Makna  kekuatan yang  disembah  dalam ritual medaroro tidak  lagi  kepada  Ghenggonalangi,aditinggi dan mawendo  tetapi  kepada HimukudÄ›. Selain ritual  sundeng dan  medaroro masih  ada  ritual  lain  yang  pernah  dilakukan  masyarakat  sangihe  dimasa  lalu seperti ritual  menahulending banua,menondo sakaeng,mendangeng sake, melanise tembonang, menaka batu, dan  lain-lain.
Ritual menaka batu (menutup kubur dengan  batu)  adalah   ritual purba  yang  berhubungan  dengan peristiwa kematian,ritual ini dilakukan beberapa saat setelah penguburan jenasah. Berdasarkan temuan, batu penutup kubur ini diambil dari tempat yang sangat jauh dari tempat penguburan karena lokasi pekuburan tua ini berada di atas bukit.Dilihat dari bentuk bangunan, dapat diidentifikasi bahwa kuburan yang menggunakan tutup batu, dibuat pada saman Batu besar.
Tutup batu kubur ini menyerupai dolmen.Ukuran batu mulai dari 50 x 50 cm sampai 100 x 250 cm dengan ketebalan 5 – 25 cm. Berat batu berfariasi dari  50 kg sampai  700 kg. Pada bagian bawah terdapat 4 sampai 5 tiang batu setinggi 40 cm dari atas tanah.Ritual menaka batu menunjukan status sosial masyarakat. Kuburan yang memiliki penutup batu paling besar  berasal dari kalangan atas sedangkan kuburan yang memiliki penutup batu kecil dari kalangan bawah.Berdasarkan penuturan dari  tua-tua kampung pananaru  dan  lapango, untuk mengangkat  batu ukuran besar memerlukan tenaga  sebanyak 50 sampai 100 orang yang dilakukan secara estafet.Diatas batu, duduk seorang pemimpin yang memberikan perintah.Setibanya di pekuburan ada seorang tua-tua adat yang sedang memainkan musik Tagonggong, pada saat batu penutup kubur mulai diangkat keatas bukit, sering terjadi perkelahian. Setelah prosesi menaka batu selesai, diadakanlah pesta dalam bentuk meberi makan seluruh pekerja.  Situs kuburan  tua  sangihe yang  memiliki konstruksi  yang  sama,   menggunakan  penutup  batu  besar terdapat di  pantai  pananualeng,pananaru,pangalemang,bawuniang lapango.
Konsepsi  masa lalu  tentang   keragaman  budaya terbawa jauh  sehingga menemui  suatu  perubahan dengan  munculnya upacara  Tulude. Upacara  ini  dilaksanakan setahun sekali sabagai  upaya mensyukuri keberadaan ditahun  yang  sudah dilalui dan  menolak  bala  di tahun  yang baru. Pada upacara   ini  ditampilkan  semua bentuk  hasil  kebudayaan sangihe.  Tulude  merupakan  upacara   adat  terbesar.
Filosofi  utama  dari  tulude terletak  pada  tamo, dimana  seluruh  lapisan  masyarakat dapat  hadir tanpa harus diundang. Pada  kegiatan  ini  tampak  nilai kebersamaan antara pemerintah  dan  masyarakat, antara  masyarakat  yang  satu  dengan  lainnya dengan  tidak  membedakan status  dan  kedudukannya  dalam  kehidupan bermasyarakat.
  1. Masuk  dan berkembangnya  agama  luar  di  kepulauan  sangihe.
  1. Agama Islam
Islam  merupakan  agama  luar  pertama  yang  masuk  dan  berkembang  dikepulauan sangihe. Sebelum  agama  Islam berkembang  lebih  luas disangihe, sudah lahir  sebuah  komunitas  kehidupan beragama  menyerupai  islam yang  disebut  Islam tua atau  kaum  tua. Aktifitas  keagamaan komunitas  ini masih  mempercayai  dan   mengikuti kebiasaan penganut  islam Alquran, seperti  melakukan puasa,melakukan sholat berjamaah,merayakan  beberapa hari  keagamaan  Islam berdasarkan  islam quran. Komunitas  keagamaan  ini  tidak  memiliki kitab  suci sebagaimana  agama  Islam  Al-quran. Mereka  meyakini  bahwa ajaran  islam tua disebarkan  pertama  kali  oleh  seseorang yg  kemudian  disebut  sebagai Mawu Masade. (penjelasan beberapa umat islam tua 2003). Salah  satu  ajaran leluhur   yang mereka  anggap  patut di jaga  adalah :  umat tidak perlu sekolah tinggi,  karena  kalau  sekolah  tinggi dapat mengotori tingkat keimanan mereka  kepada Tuhan  Yang  Maha Esa (wawancara  dengan bpk. Manto  Kirimang,2007)
Masade  adalah  seorang  anak  berumur  7  tahun  yang   ditemukan  di kerajaan  Tabukan pada  masa   pemerintahan  Raja  Dalero. Pada  saat  itu   terjadi   perang  antara  kerajaan  tabukan  dan   kerajaan islam LumaugÄ›. Penyebab  perang bukan masalah  agama  tetapi dendam  kepada  sultan  sibori  dari ternate yang  membawa lari  Maimuna putri  raja Dalero. (Sultan  sibori  sering  berkunjung ke kerajaan  Lumauge).  Pada  saat  terjadi  perang,masade bersembunyi didalam  perahu yang tertutup ditanah. Dia ditemukan  dan dibesarkan oleh  Manakabe. Masade   mempelajari  agama  Islam di Ternate dan Mindanao lalu  kemudian  menyebarkannya ke sangihe.  Masade meninggal  dan dimakamkan  di   Tubis,Philliphina,  beberapa  waktu  setelah perjalanannya ke Ternate,Mongondow,dan  Mekah.
Ajaran  Masade  diteruskan oleh  muridnya yang  bernama Penanging. Penanging melakukan  pemuridan kepada tiga orang  yaitu  Makung, Hadung  dan  Biangkati. Ajaran  tiga  murid  penanging  inilah  yang  melahirkan  tiga aliran  ajaran dalam  Islam Tua.  Tempat  ibadah komunitas  keagamaan  ini  dinamakan  mesjid, alat yang  digunakan   untuk  memanggil  orang  beribadah menggunakan  lonceng. Shalat   berjamaah  dilaksanakan tiap  hari Jumat. Ajaran  utama  mereka  berasal  dari  imam. Ada   kemungkinan lahirnya  komunitas  keagamaan  islam  tua merupakan  kegagalan  dari  dakwah  islam  Syi,ah.
Disaat  agama  islam  tua  sedang  mengalami tekanan  dari berbagai pihak terutama tekanan  dari  negara  sendiri, muncul seorang  penyelamat  yaitu Pendeta Don Javirius Walandungo. Melalui  sebuah  tesis dengan  judul “ Islam  Tua Terpasung  dan  merana” telah  membuka  mata  pemerintah  untuk  menyelamatkan agama  ini dari tekanan saudara-saudaranya.
Sampai saat  ini tidak  ada  bukti yang  dapat menguatkan tetang kapan masuknya ajaran islam mula-mula di kepulauan  sangihe. Secara  umum, ajaran  islam  masuk ke Indonesia oleh beberapa ahli berasal  dari India, Coromandel, Arabia, Mesir, China dan  Persia.  Diperkirakan ajaran yang masuk ke sangihe melalui philliphina dan  ternate.
Ajaran  Islam  masuk  dan  berkembang disangihe dilihat  dari  dua kemungkinan. 
Pertama,  masuk  melalui Philliphina awal  tahun 1400 oleh pedagang dan pelaut china yang melalui  jalur pelayaran  laut. Persebaran islam ini dilakukan melalui pelayaran  yang  dilakukan juga oleh  pelaut   china, Cheng Ho dalam  kunjungannya  di pulau Sulu. Masuknya ajaran islam dari philliphina juga  dipengaruhi  oleh  hubungan  dagang yang  dilakukan  oleh  muslim cina  maupun  muslim moro,mindanao.
Kedua, masuknya ajaran islam dari Ternate diperkirakan  pada  abad ke  14, karena  pada   saat   itu islam  sudah  tersebar diseluruh  ternate. Sultan  ternate  yang  benar – benar  sudah   memeluk  agama  islam  adalah Sultan Zainal  Abidin (memerintah sebagai  sultan thn 1486-1500),Zainal Abidin belajar islam dari  Sunan Giri. Pada masa  pemerintahan  sultan  Baabullah anak  dari  Sultan  Hairun (1570-1583) kesultanan  ternate  mencapai  kejayaan. Wilayah  kekuasaannya  sampai ke  Philliphina. Orang  pertama   yang  menyebarkan  agama  islam AlQuran disangihe  adalah Imam  Penanging  yang  kemudian  dianggap  oleh  penganut  Islam  tua sebagai murid  dari  Masade ( wawancara   dengan  bapak   Gabriel, kepala MI Petta )
Menurut  tradisi  lisan sangihe, agama islam  pertama  kali  diperkenalkan di Tabukan oleh seorang arab bernama  Syarief Maulana Moe’min pada  abad  ke 15 dan  mendapatkan  pengaruh pertama terhadap  raja kerajaan Lumauge. ( Suwondo,1978 dalam D.J.Walandungo, Islam  tua  terpasung dan merana ). Kerajaan  lumauge  berpusat di sebuah  bukit   di  belakang  moronge. Kerajaan  ini  adalah  satu-satunya  kerajaan islam di sangihe  yang  merupakan bagian  dari  kekuasaan  kerajaan  Tabukan.
Pada  abad  ke 19 datanglah seorang imam  dari  pontianak yang  mengajarkan  ajaran  Islam. Imam tersebut dijuluki “Imam Pontiana”. Sesudah imam “pontiana” dipulangkan  oleh  pemerintah Kerajaan Tabukan ke pontianak, muncul lagi   seorang  pengajar agama  islam dari tabukan  bernama Walanda  yang  sebelumnya pernah berguru pada Tamieng. Walanda  memperdalam ilmu Islam di mongondow,setelah kembali  ke sangihe ia membuka  pengajian di  tabukan. Pertengahan  abad ke 19, raja  Kumuku (Hendrik David Paparang) mempelajari agama Islam di Ternate. Sekembalinya di Sangihe, dia membawa seorang anak bernama Moedin Baud. (catatan  laporan  kunjungan Gubernur jendral di kerajaan Tabukan, 1927)
Pada  masa  pemerintahan  Presidentsi  raja Cornelis  Siri  Darea tahun 1886,  agama  islam  di Kerajan Tabukan  mendapat  tekanan. Kapiten laut  Hadiman Makaminan dan Maloehenggehe Paparang  dihukum  karena  berguru  ajaran  islam  pada  Husein (orang Gorontalo). Orang-orang  yang  masih  memeluk  agama  Islam di Tabukan  diungsikan  ke Tahuna   dan  membentuk komunitas baru kampung islam Tidore. Pengungsian dipimpin  oleh Abdoel Latief. Di bowondego/lenganeng  mereka  menangis sambil  mengucapkan doa  Ya Allah Tuhan  yang  rahman, PadaMulah tempat  berlindung, Sertailah berkat, teguhkanlah iman, Peliharalah  hambamu diperasingan. Diantara  para  pengungsi  terdapatlah  seorang  yang  bijak bernama Ontameng Kakomba  yang  kemudian  menjadi guru  agama Islam di Tahuna. 
Di masa  pemerintahan raja  Tahuan, Dumalang, islam mendapat tekanan. 15  orang penganjur  Islam  diasingkan  diluar Sulawesi.Atas  pertolongan  Controleur Hoeke beberapa tahun kemudian dibangunlah  sebuah  mesjid di Sawang. Dimasa pemerintahan Raja D. Sarapil 1898 umat  islam dalam pembuangan Tahuna,  diijinkan pulang ke Tabukan dan  membangun  mesjid di Moronge dan Peta.
Tahun 1915 datanglah  seorang  Ambon  bernama  Marasa Besi mengajarkan  ilmu  sihir bertopeng  agama Islam. Tahun 1919  Sarikat Islam terbentuk di  Tabukan, organisasi  ini  bubar  pada  tahun 1921. Karena  kesalah pahaman, pemimpin  Sarikat  Islam  J.G. Janis  dihukum, sampai meninggal  dan  dikuburkan  di Surabaya. Pada   masa  pemerintahan  raja W.A. Sarapil tahun 1925, kehidupan  beragama di  kerajaan  tabukan  menjadi baik. (disarikan oleh Bombaran Makaminan  dalam catatan  laporan  kunjungan Gubernur jendral di kerajaan Tabukan, 1927 )
Satu-satunya  kerajaan  Islam  di Sangihe  adalah Kerajaan Lumauge yang  berpusat di Moronge, dibawah kekuasaan Kerajaan Tabukan. Kerajaan lain disangihe   yang  mendapat  sentuhan islam  adalah   kerajaan  Kendahe. Raja  kerajaan  kendahe  pertama  adalah  anak  Sultan  Achmad  dari  philiphina, memerintah   thn  1600 – 1640. Raja Tabukan yang beragama islam  adalah raja Gadma.  ”Utusan  raja Gadma menegaskan  kepada pemerintah  spanyol di manila bahwa mereka  rela meninggalkan  agama  islam dan  memeluk  agama  kristen” ( Meersman  1967 dalam D.J.Walandungo, Islam  tua  terpasung dan merana).
  1. Agama  Kristen.
Misi  Khatolik Portugis pertama yang  tiba  di  Maluku  adalah beberapa  rahib Franciscan  yang  mendarat  di Ternate tahun 1522,kemudian berkembang  pesat  sampai  tahun 1570, di ambon lease,bacan,halmahera – morotai,ternate-tidore, Banggai,Manado dan  Sangihe. Hal  ini  terlaksana   atas  usaha dari Misionaris Jesuit, Franciscus Xaverius sejak  tahun 1546 selama 15 bulan penginjilan. Sesudah tahun 1570 Misi   Roma  khatolik mulai  mengalami  kemunduran akibat  dari, dibunuhnya  Sultan Hairun oleh  Portugis.
Tahun 1563, pater  Diego de Magelhaes membaptis  “raja  Manado” dan  raja Siau Possuma. Thn. 1566  raja  Siau   yang  baru  kembali  dari  pengungsian ditemani  oleh misionaris  dari  Ternate Pater Mascarenhas. Akhir bulan september 1568 raja Kolongan  meminta rohaniawan  di siau  untuk  menerimanya  menjadi  Kristen. Tgl. 5 Oktober 1568, Pater Mascarenhas tiba  di pulau  sangihe, mengajar selanjutnya membaptis dan  menikahkan  beberapa  bangsawan di kerajaan  kolongan.   Tahun 1563  adalah  awal sentuhan  Khatolik di Siau.
Perkembangan  protestan  di pulau  sangihe  dapat di periodisasikan  berdasarkan  buku  Wilayah-wilayah  zending  kita, Zending dikepulauan sangi dan talaud, sebagai  berikut :
  1. Masa  awal  protestan  (masa  VOC)
Penyebaran protestant calvinis  dimulai sejak Spanyol
menarik  diri  dari Sangihe, setelah  VOC  merebut  Tahuna
pada  tahun 1666. Pendeta  mula-mula  adalah Ds. Pregrinus
(1677) dan Ds. Cornelis de Leeuw, sebagai  pendeta
pertama yang berkhotbah  dalam  bahasa  Sangihe (1680
  • 1689).
Penyebaran  agama  kristen protestan mula-mula dilakukan  oleh  para  pendeta pegawai VOC. Tahun 1675     Pendeta  J. Montanus mendapati bahwa jemaat-jemaat di Manado sudah sangat lemah. Tahun 1677  VOC menetapkan Pendeta Zacharias Cacheing di Manado. Sampai tahun 1700 tidak banyak  lagi  pendeta  yang  mau  datang  ke Indonesia. Kekristenan  pada  masa VOC terjadi  bukan karena  keimanan tetapi  karena  tekanan  politik. (Prof.Dr.I.H.Enklaar.Sejarah gereja ringkas,81,1966)
Tahun 1674-1675 adalah masa awal sentuhan protestan di pulau  sangihe. Pada  masa itu Pendeta Franciscus Dionysius  dan  Pendeta Ishacus Huysman berkunjung ke pulau sangihe,kemudian sakit  lalu  meninggal  dan  dikuburkan ditepi pantai, jalan  menuju ke  angges. Thn. 1676  sangihe  dikunjungi   oleh Pendeta. J.Montanus  dan  Pendeta Peregrinus. Tahun  1770 – 1853 Pendeta Josep Kam Bertugas di Maluku dan dijuluki Rasul Maluku,  pendeta  ini   sering   melakukan   kunjungan  ke  sangihe.  Pendeta  terakhir  yang  berkunjung  ke pulau  sangihe semasa  VOC  adalah Pendeta  J.R. Adams pada tahun 1789.  31 Desember 1799 VOC dibubarkan, sejak bubarnya VOC tidak ada lagi pelayanan rohani
  1. Masa NZG  (Nederlandsch Zendeling Genootschap ) Perserikatan  Pekabaran Injil Belanda
Van der Kamp mendirikan NZG Tahun 1797. Tahun 1817 Pendeta  Josep Kam berkunjung ke Minahasa. Tahun 1819 Lenting berkunjung ke Minahasa.Pendeta Josep Kam dan Ds. Lenting mendapati orang Kristen tidak ada pelayanan lagi,lalu mereka  melaporkan keadaan itu pada NZG di Belanda. Pada tahun 1822 atas laporan diatas maka NZG mengirim 2 orang berkebangsaan Swiss,  L.Lamers di Kema ( meninggal 1824 di Kema ) W. Muller di Manado (meninggal 1827 di  Manado) Mereka meninggal karena penyakit Typus.Dalam pelayanan, mereka    mengalamai banyak hambatan dan  tantangan terutama dari kalangan turunan  Eropa.Tahun 1827  pelayanan manado diganti oleh  Ds. G. J. Helendoorn. 4 tahun kemudian tahun  1831 dikirim lagi 2 Orang pelayan yaitu : Johann Friedrich Riedel dan Johann GottliebSchwars.
Tahun 1855, NZG  mengutus S.D. van der Velde van Capellen dari Minahasa ke sangihe dan membaptis 5033 orang.Ketika itu S.D. van der Velde van Capellen sedang  bertugas di Tareran,Minahasa. Atas kujungan  tersebut  dilaporkanlah keadaan jemaat  kristen sangihe  yang  terlantar  kepada  NZG. Oleh  menteri  Jajahan, diberikan  jawaban bahwa  akan  diutus  empat orang Zendeling-werklieden atau  zendeling tukang. S.D. van der Velde van Capellen kembali  lagi  ke tempat  tugas  di minahasa sampai akhir  hidup  dan  dikuburkan  di lansot tareran tahun 1856.
  1. Masa  Zendeling – werklieden ( zendeling tukang atau  utusan tukangdalam  perhimpunan “Pendeta tukang)
Komisi Zendeling  tukang memulai  pekerjaannya di
Amsterdam tahun 1851 dan  mengutus  pekerja  injil  di
Indonesia. Komisi  telah   mengutus  sembilan orang ke
pulau  sangihe dan   talaud untuk melakukan  penginjilan.
Usaha penginjilan  ini dilakukan atas  beberapa latar  
belakang  diantaranya :
  • Kurang  lebih  200  tahun pemeliharaan  injil di sangihe terlantar.
  • Laporan  Pdt. S.D. van Der Velde van Capellen tahun 1855 tentang  kemerosotan iman  jemaat di Sangihe.
Karena  kekurangan  tenaga di Belanda, Komisi  zendeling  tukang  mengambil  beberapa  utusan    dari Jerman. Mereka  yang  diutus adalah : Carl W.L.M Schroder, E.T.Steller, F. Kelling dan A.Grohe. Kelling  dan  Grohe  ke pulau Siau mereka tiba di  Taghulandang 15 Juli 1875. Steller dan Schroder tiba di Manganitu  25 Juni 1857. Pengutusan  zendeling tukang    berakhir tahun 1858.
  1. Masa  Komite  Sangihe  dan  Talaud  (didirikan tahun 1887)
Pada  masa   ini  tanggungjawab   pemeliharaan iman di  pulau  sangihe dan talaud  ditangani  oleh  Komite  Sangihe  dan  Talaud.  Komite ini  didirikan di Belanda  atas  kerja  sama  dengan beberapa  badan  penginjilan. Komite hanya  bertanggung jawab  membiayai perjalanan utusan  injil sampai di Batavia, sesudah  itu  diserahkan  kepada pemerintah Hindia  Belanda melalui badan penginjilan  yang  ada  di  Manado. Utusan  injil  yang  datang  di  sangihe  dan  talaud  diambil  dari  beberapa  badan  penginjilan.
Utusan  injil  baru tiba  di  Sangihe tahun 1888. Mereka  yang   diutus  adalah : M. Kelling,W.T.Vonk, J.C.G.Ottow. Tahun 1891, siau  menerima  pekerja injil  baru  yaitu :  A.J. Swanborn,pada  saat  yang  sama  G.F. Schroder pindah  dari  talaud di pulau sangihe, dan Mr.K.G.F. Steller tiba di  Manganitu 31 mei 1899. Pada  tanggal 1 Juli 1904 pelayanan injil  di  serahkan lagi pada   komite untuk  pemeliharaan kebutuhan  rohani jemaat  kristen  protestan pribumi. Menjelang   pertengahan  tahun 1900, gereja  kristen  di sangihe  menyatakan berdiri  sendiri, tidak  terikat  lagi oleh  gereja  negara.
SENI  TARI DAN MUSIK SANGIHE
Penciptaan tari lahir sebagai  bagian  dari keperluan  ritual  atau  upacara  adat dan kegiatan  sosio – kultural. Dalam  tata  kehidupan seperti itu rasa  dan  semangat  kebersamaan  menjadi  titik   sentral.          ( I Wayan Dibia,dkk. Tari Komunal,2006)
Tari  berkembang  atas  kerja sama dan rangsangan  yang  didapat   dari  musik,seni rupa,sastera dan  drama. Penciptaan  tari  tradisi  sudah ada seiring  dengan  lajunya  sejarah. Masing-masing  khazana tari  tersebut mengalami  perubahan  dan  perkembangan. Satu  sama  lain dapat  terjadi  saling  silang  budaya atau  saling  mempengaruhi.( Sumaryono Endo Suanda, Tari  Tontonan, 2006)
Di sangihe, tarian  merupakan  bagian  dari  kehidupan  masyarakat,  apakah   itu  untuk  keperluan  ritual ataupun  pertunjukan. Dalam mengekspresikan tari, musik  menjadi  bagian  didalamnya. Setiap  bentuk  tari  mengalami  perubahan dari   waktu ke waktu berdasarkan  perkembangannya.
Terdapat beberapa  tari-tarian  asli  sangihe  yang  masih  ada  dan  sedang  dikembangkan   yaitu, tari gunde,tari sese madunde,tari alabadiri,tari dangsang sahabe,tari bengko,tari salo,tari upase,tari tambor dan  tarian ampa wayer.
Substansi (isi) dasar  tari,  adalah  gerak tubuh, karena  itu tari adalah  perwujudan ekspresi secara  personal. Tari  lahir  dari suatu  sistim  kebudayaan  yang  berlaku didaerah   masing-masing merupakan bentuk  komunikasi  antar manusia yang  lahir dari  tatanan  kehidupan. ( I wayan dibia,cs.Tari komunal,2006 ).
Tari dipertunjukan  pada berbagai  peristiwa, seperti  yang  berkaitan dengan upacara (ritual) dan  pesta  untuk  merayakan  kejadian-kejadian  penting.Tari  telah  berperan  penting dalam  sistim  sosial sejak  zaman  pra sejarah (Sumaryono, Endo Suanda,Tari tontonan, 2006)
  1. MUSIK DAN TARI LIDE.
Penelitian tentang  musik  ini telah  dilakukan  oleh  banyak ahli dan  pemerhati lokal dan beberapa  pakar  etnomusikolog  dari Indonesia  maupun  luar   negeri. Mengolį  adalah  suatu kegiatan  memainkan  alat  musik yang  dinamakan musik lide. Latar belakang permainan musik  ini adalah  sebagai media penghubung manusia dan  sang  penguasa  alam. Disamping  memainkan  musik ,terdapat  satu  orang  perempuan  yang   menyanyi dengan isi syair pantun  (dalam  bahasa sangihe disebut  papantung, medenden).  Musik  lide terdiri dari sekumpulan  alat musik  tradisional  Sangihe yang dimainkan  secara  bersama oleh penganut  kepercayaan sundeng. Musik  ini  sudah  ada bersamaan  waktunya  dengan    kerajaan  mula-mula  di  kepulauan  sangihe tahun 1500 – an. Kesenian  ini  lahir  sabagai  bagian dari  ritual mêsundeng.
  1. Jenis alat  musik lide
Musik  lide  terdiri  dari beberapa jenis  alat musik yang pada musik melodis memiliki unsur 5  buah  nada   yaitu : do,re,mi,fa,sol.
  1. Alat musik  melodis atau  alat yang  mengantar  melodi  pada  lagu.
    • Arababu dan  alat  penggesek.
    • Bansi,  alat  musik   melodis
  1. Alat  musik  ritmik.
    • Sasesaheng
    • Salude
    • Oli
  1. Jenis lagu pada  musik  lide.
Musik   lide   terdiri   dari  8  jenis  irama lagu purba. Jenis  irama lagu  purba yang  masih  ada dari  antara  8  lagu  purba adalah :
1. Lagung lide
2. Lagung laogho u  lendu
3. Lagung elehu ake
4. Lagung sangi  u  wuala
Lagu  yang  sudah  punah  diantaranya adalah Ondolu Wango.
Hal ini disampaikan  oleh  nara  sumber, pemain dan pembuat  alat dikampung  Manumpitaeng bernama  Umbure Kalenggihang. Menurut bapak Malomboris (pemerhati  music  lide dari kampung  Manumpitaeng) lagu yg  sudah  dinyatakan  punah masih  dapat   dimainkan  oleh Bapak  Umbure tetapi  belum  saatnya  diajarkan.  Hal  ini mungkin  berhubungan  dengan  sitem  pewarisan  pada  Agama  Sundeng. Menurut bapak Malomboris, pemerhati  budaya lide dari Manumpitaeng mengatakan  bahwa selain lagu, terdapat  juga tari pada  ritual sundeng yang   sudah  dinyatakan  punah, tari  tersebut bernama  Tari  lide.
Jenis irama  lagu, pengembangan dari  lagu  purba diantaranya  adalah :
1. Lagung bowong buas
2. Lagung balang
3. Lagung sahola
Setiap  jenis  lagu   memiliki  latar  belakang  penciptaan  yang  berbeda. Yang  unik  dari  irama  musik  lide  yaitu :  irama  musik  lide sudah  diturunkan secara  turun-temurun  tanpa  perubahan secara   signifikan. Perbedaan  musik lide hanya  terdapat pada tempat dimana  musikc itu dikembangkan. Irama lagu   musik  lide di  daerah  sekitar   Pulau  Mahumu hanya   menggunakan  3  irama lagu   sementara  didaerah  lain  menggunakan 4  irama lagu. Musik  lide  merupakan  paduan  dari  beberapa  jenis  alat  musik  seperti : Oli, Bansi, Arababu, salude  dan Sasesaheng  yang  dimainkan  secara  bersamaan menjadi sebuah  ansambel. Permainan   music   ini  sering  juga  di padukan  dengan  vocal / suara  manusia.  Syair  lagu  yang  dinyanyikan kebanyakan bertema permintaan  yang  memiluhkan, hasil  dari  penderitaan yang berkepanjangan. Pada  perkembangan  salanjutnya Musik  lide mulai  dipadukan  dengan  gong atau dalam  bahasa  sangihe  disebut  Nanaungang. Kegunaan gong  adalah  pengendali  tempo lagu.
  1. Filosofi  dan  pemaknaan lagu  purba pada  music  lide.
Dari  keempat  jenis  lagu  yang  ada,  pada  dasarnya  mempunyai  nuansa kepedihan. Lagu  lide  merupakan lagu  inti atau  lagu pembuka  yang  dapat  menyertai  penyembahan  agar cepat  sampai  kepada  sang  penguasa alam dalam  bentuk  permohonan.Lagu  Elehu ake : mengetengahkan  tentang  bentuk  permintaan  dan  permohonan  seperti air  yang  mengalir.Lagu Sangi U Wuala : arti  sangi  u  wuala  adalah Tangisan  Buaya. Dimasa  lalu masyarakat  sangihe  meyakini  adanya  Upung (leluhur) Manusia  dan Upung (leluhur) Buaya. Upung  buaya berjalan  dengan  dua kaki menggunakan  ikat  kepala  merah. Upung  buaya  ini  memiliki  kekuatan  yang  sangat  sakti  sehingga  apa  yang  dia  minta  harus  diberikan. Jika permintaannya  tidak  dipenuhi  maka  akan ada  korban yang  ditelan. Lagu  sangi  u  wuala berkisah tentang ancaman  terhadap  kehidupan  manusia yang   digambarkan sebagai  rupa  Buaya. Ancaman  tersebut telah  membawah umat  pada  kesedihan  yang  berkepanjangan.Lagu  Laogho u lendu,lagu  lendu diambil  dari  nama  salah  satu  jenis   burung  yang  hidup  di sangihe. Burung  ini   adalah  satu-satunya  burung    dalam  kehidupan  budaya  sangihe yang  dianggap  sebagai perpanjangan tugas  penguasa  alam. Tugas  burung  lendu  yang  paling  utama  adalah  ating  tanda  tentang  kematian kerabat  terdekat. Selain   lendu  ada  juga  kaliyaow yang  meberi  tanda  akan  kehadiran  kerabat  dekat  dari  tempat  jauh.
  1. Salah satu bentuk  lagu  pada   musik  lide
  2. Tarian  yang  diiringi  musik  lide.
Tari lide  sebagai  bagian  dari  ritual mêsundeng. Merupakan tarian purba  yang  sudah  punah. Tari ini dilakukan  dalam  tahapan  menalê, (menalê  adalah memberi  makan, wawancara : G. Makamea,2008)  dilakukan  untuk  mengantar  roh perempuan  muda yang dikorbankan kepada  sang  pencipta).
         
Tari  lide  ditarikan   oleh perempuan, penari  mengelilingi  korban dalam  kelompok  tari, dan  menari  sesuai   gerakan masing-masing yang  imajinatif dan  spontan. Gerakan  dasar  tari, tangan  di goyang dan  kaki  disentak-sentakan ketanah sambil  mengelilingi korban. Dasar  dari  tari lide  adalah  tari  tunggal  yang  ditarikan  bersama.Dilihat dari unsur  tari  maka  tarian  ini dikelompokan  sebagai tari komunal. Tari komunal  adalah suatu  peristiwa   pertunjukan  tari yang  melibatkan  masyarakat  besar. Tari komunal mengandung  prinsip semangat kebersamaan,rasa persaudaraan atau  solidaritas terhadap  kepentingan  bersama.
Lambat laun konsep kebudayaan  semakin  mengalami  perubahan. Setelah  masuknya  agama  Islam dan  agama Kristen di kepl. Sangihe  maka  pengorbanan   manusia   diganti  dengan binantang  berupa  babi. Seekor babi dengan  persyaratan yaitu  babi  tambun  besar   berwarna  hitam  keseluruhan dari  unjung  kepala  sampai  ujung  kuku.Pengorbanan   binantang  kemudian  diganti lagi  dengan Sajen  berupa  ketupat jenis  bebatung kambing, salah  satu  jenis   ketupat  dari  16  jenis  ketupat  sangihe.(wawancara : Makamea 2006) Ketupat  kemudian  diganti  lagi dengan  nasi  kuning  yang  disajikan  diatas  piring  besar yang  disebut dulang. Populasi  pelaku  musik  lide asli dan medenden tinggal satu orang.
  1. KESENIAN  MÄ"BAWALASÄ"
MÄ•taggongong identik  dengan  mÄ•bawalasÄ• sambo.
Alat   musik   yang  digunakan  dalam permainan musik “mÄ•tagonggong”  adalah gendang.
Dimasa  lalu,  permainan  musik  tagonggong dijadikan sebagai  pengiring kegiatan “me’sambo” atau  mÄ•bawalasÄ•  sambo, tari gunde dan upacara  adat. Pengaruh kebudayaan  import dan  saling  berpengaruhnya budaya  sendiri menjadi  bagian  dari  perjalanan panjang budaya  mebawalase  kantari.
Dari   cerita  lisan  dan  beberapa folklore sangihe tentang Makaampo, memberikan  gambaran  kemahiran  leluhur  orang sangihe  dalam  berpuisi dan  berpantun. Berpantun adalah   bagian  umum  dari   budaya   nusantara yaitu  mengucapkan syair – syair  dalam  bentuk  percakapan yang   memiliki  arti  dan  harus  dibalas sesuai  permintaan  syair   sebelumnya. Pantun  dilakukan secara  berbalas-balasan antar dua orang  atau  dua kelompok.
Pantun,mantera,tinggung-tinggung  adalah   sastera  lisan  tertua  di sangihe yang  diajarkan  secara  turun  temurun. Mantera  mengalami  perubahan  isi   sejak  masuknya  Islam  dikepulauan  sangihe. Pantun tidak  mengalami  perubahan  isi melainkan   mengalami  perubahan cara  penyajian. Tinggung-tinggung atau teka-teki pertama  kali  mendapat  respons masyarakat di  Istana  kerajaan tabukan. Dikemudian hari kegiatan   berbalas    syair muncul dalam  bentuk  berbeda yaitu   disajikan   dengan  iringan   musik  tagonggong. Syair lalu   dilantukan “bernada” penthatonik  dan  dibalas  oleh  orang lain. Sambil  melantunkan  sambo setiap   orang  harus  memukul tagonggong   sesuai  irama  yang  diinginkan.
Ada   tiga  unsur penting dalam mÄ•bawalasÄ• sambo   yaitu : mÄ•tagonggong, mÄ•sambo,mÄ•bawalasÄ•. Inti   dari  kesenian ini  adalah mÄ•bawalasÄ•. Setiap  lawan sambo harus mampu  menjawab  atau   membalas syair  yang disambokan. Kalau  tidak  maka  akan  dianggap  kalah. Berdasarkan  cerita   dari  kampung dagho, kalamadagho dan  pananaru  bahwa   pulau  sambo   yang  ada di  pantai  kalamadago terlempar  akibat  permainan  tagonggong dan  sasambo  seorang  yang  sakti.   Sampai  saat  ini,  pulau   tersebut  dinamakan  pulau  sambo.   Dimasa  lalu,   setiap  sambo   yang  dilantunkan memiliki  kekuatan  magic yang  dapat  membunuh  orang.Bentuk  lagu  sambo  terdiri  dari : lagung  balang,lagung sonda, lagung sasahola,lagung duruhang, dan  lagung   bawine.
Setelah  masuknya  bangsa  eropa,  kesenian  mÄ•bawalasÄ• melahirkan bentuk  baru  yaitu saling berbalas lagu atau mÄ•bawalasÄ• kantari. Lagu-lagu yang  dinyanyikan  mendapat  sentuhan   diatonis eropa yaitu   nada do,re,mi,fa,sol,la,si.
Pada  awalnya, kesenian  mÄ•bawalasÄ• kantari dilaksanakan  pada  kumpulan  keramaian  sebagai  pertunjukan  rakyat  dalam  acara-acara  hayatan, pernikahan  dan kematian. Proses mÄ•bawalasÄ• kantari mula-mula adalah  seseorang  berdiri sambil menyanyi  lalu diikuti  oleh peserta  yang  hadir sambil menunjuk satu  demi  satu orang  yang  hadir  ketika  lagu  berhenti, dengan  sendirinya  orang  yang tertunjuk bersamaan dengan akhir  lagu  harus berdiri menggantikan  orang  yang  sedang  berdiri. Kesenian  ini kemudian disebut  “tunjuk”.
Kesenian  mÄ•bawalasÄ• kantari menemui  persimpangan  sejak masuknya  injil  di  tanah  sangihe. Pada  saat  itu lahir  bentuk  paduan  suara gereja yang disebut Zangvereeninging  yang  diambil  dari  kata dasar zang (bahasa  belanda) yang berarti nyanyian. Di manganitu kelompok   paduan  suara  ini berkembang  sejak  akhir  tahun 1800 dengan sebutan  sampregening.  Diawal tahun 1900  Nn. C.W.S. Steller menawarkan diri  menjadi pelatih sampregening jemaat kristen Paghulu.  
Lambat  laun kesenian eropa  ini   terinkulturasi dengan  kesenian  “tunjuk”. Kemudian muncul kesenian  masamper  yang  merupakan persilangan  antara paduan  suara   gereja  dan  kesenian  tradisional. Pengistilahan sampri sebagai  paduan  suara masih  digunakan sampai  tahun 1960-an. Bersamaan  dengan  itu   sudah  muncul  istilah  samperÄ›  yang  menggantikan istilah  tunjuk  pada  kegiatan  mebawalasÄ› kantari.
Kesenian   tradisional  adalah seni budaya yang  sudah  sejak lama  temurun,telah  hidup  dan  berkembang pada suatu  daerah  tertentu  ( Okka A.Yati dalam M.M.Bawelle, Pengaruh  Partisipasi  Sponsor terhadap  pengembangan seni  masamper di kecamatan malalayang  kotamadya manado, Skripsi,1998)
Masamper mula-mula berasal  dari bahasa belanda Zang sfeer yang  artinya  menyanyi bersama  dalam  suasana tertentu. Masyarakat  sangihe  menyebutnya  Samper dan  mendapat pengaruh  imbuhan “me” menjadi  mesamper. ( Taman Budaya, Rumusan hasil   sarasehan  masamper, 15 0ktober 1992 dalam M.M.Bawelle, Pengaruh  Partisipasi  Sponsor terhadap  pengembangan seni  masamper di kecamatan malalayang  kotamadya manado, Skripsi,1998)
Unsur  utama  Masamper  adalah : unsur  musik  vokal,unsur gerak,unsur mebawalase atau  berbalas-balasan. Menggunakan  nada  diatonik  dan  dinyanyikan seperti paduan  suara / koor. ( M.M.Bawelle, Pengaruh  Partisipasi  Sponsor terhadap  pengembangan seni  masamper di kecamatan malalayang  kotamadya manado, Skripsi,1998)
Di Indonesia  hanya  ada dua bentuk  paduan  suara  tradisional  yaitu paduan suara tradisional batak dan masamper dari  sangihe. Masamper terbentuk  dari beberapa  babakan  berdasarkan  jenis  lagu  yang dinyanyikan.
  1. Lagu  pertemuan  atau  perjumpaan.
Pada  jenis  lagu  ini   hanya dapat dinyanyikan lagu  yang bertemakan perjumpaan  dalam suatu  acara hayatan  seperti perkawinan  dan  kematian. Jenis  lagu  ini  mengalami  perubahan dengan tema lagu  perjumpaan  secara umum.
  1. Lagu rohani / pujian
Pada jenis  lagu  ini   hanya  dapat dinyanyikan lagu yang  bertemakan  rohani. Termasuk aktifitas  religius  agama sangihe  maupun  agam  kristen.
  1. Lagu-lagu bertemakan  kepahlawanan
Pada jenis  lagu  ini   hanya  dapat dinyanyikan lagu   yang  bertemakan  kepahlawanan pahlawan sangihe. Tetapi  kemudian  seiring  dengan  perkembangan muncul  tema kepahlawanan  nasional.
  1. Lagu-lagu  bertema  sastera sangihe.
Pada  jenis  ini hanya dapat  dinyanyikan lagu yang  bermakna dan  bernilai  sastera tinggi, tidak  boleh menggunakan kosa kata  bahasa  sangihe  sehari-hari.
  1. Lagu  percintaan
Pada  jenis  lagu ini  mengambil  tema cinta  dan  kasih  sayang orang tua kepada anak, anak kepada orang tua, kepada sesama,kepada teman dan sahabat, kepada orang dewasa yang  akan dan saling bercinta (pacaran), problema cinta muda-mudi,problem rumah tangga.
  1. Lagu  perpisahan
Babakan  ini  adalah babakan yang  paling terakhir  dimana  acara mêsamperê sudah  selesai.Berakhirnya mêsamperê ditandai  dengan  tidak  ada lagi kelompok  yang  mampu membalas lagu  terakhir.
Dimasa lalu kegiatan  mêsamperê dapat  diselenggarakan  selama  24 sampai 48 jam. Hal  ini  bisa terjadi  apabila kelompok  yang  ikut  dalam mêsamperê memiliki  banyak perbendaharaan lagu. Hal  yang  menarik  dimasa lalu, karena kehabisan  lagu seorang  pangataseng (pemimpin  mêsamperê) dapat  menciptakan  lagu pada saat  kegiatan  mêsamperê sementara berlangsung.
Meskipun  lagu – lagu  masamper banyak menggunakan  lagu – lagu tahlil dan mazmur, tetapi  ditahun 1800,  budaya  masamper  adalah  budaya  umum sangihe. Hal  ini  terbukti dengan  banyaknya  kaum  muslim   yang  ikut  dalam  kegiatan “tunjuk”.  Mereka  mengetahui  banyak  lagu-lagu  kristen. (penjelasan   bpk. Luqman Makapuas  dan beberapa tua kampung di Tabukan Utara) Sejak   munculnya  sampregening  maka  kebudayaan masamper lebih  identik  dengan  kristen.
Tahun 1980-an, masamper  mulai dilombakan  dalam  berbagai  kegiatan. Menjelang   tahun 1990-an nilai-nilai asli  masamper berubah   dengan  munculnya  grup-grup   masamper modern  yang  tujuannya mengarah kepada kegiatan  komersial.. Nilai   positif  dari  munculnya grup  masamper  komersial  adalah semakin meluasnya  pengenalan akan   budaya  sangihe   ke seluruh  Indonesia.
Selain  beberapa seni  musik  yang  sudah  dijelaskan, Masayarakat  sangihe juga  mengenal beberapa permainan  musik lain seperti: musik  tunta, musik  bambu melulu, musik puhe dan music orkes.  Musik  orkes   adalah  satu  bentuk  ansambel  music  yang diwariskan  sejak  masa  Spanyol.
  1. TARIAN  SANGIHE  
Masyarakat  sangihe telah  mengenal  tari  sejak  zaman  pra  sejarah. Dimulai   dengan  lahirnya tari  lide  dalam  upacara  sundeng. Tari lide kemudian  berubah   karakternya  menjadi  mêsalai (salai  dalam  bahasa  sangihe  artinya  menari). Konseptual  tari  sangihe  pada  awalnya  dilakukan  dalam  upacara  sundeng   yang  merupakan  bagian  dari keutuhan  teatrical  upacara   dimana  terdapat  berbagai macam  kesenian  yang  ditampilkan dan  setiap orang melakukannya  berdasar peran  masing-masing.  Mêsalai  memasuki  bentuk  baru  yaitu  : pementasan  secara  spontan  dalam acara-acara  keramaian. Mêsalai  yang  berakar  dari  tari  lide ditarikan oleh  sekelompok orang dengan  peran tunggal  disertai gerakan dan ekspresi  spontan, tanpa dibentuk sebelumnya. Konsep utama  tari  ini adalah  gerakan bebas  dilakukan  oleh  laki-laki  dan  perempuan. Tari  ini  mengalami   perubahan-perubahan   sampai  muncul tarian  Gunde.
Berdasarkan fungsi  dan  perannya  dalam   kehidupan  sosial, tari  - tarian  sangihe  dikelompokan  dalam  dua bagian  yaitu ; Tarian  Istana dan Tarian Rakyat.
  1. Tarian Istana
  1. Tari Gunde
Pada  awalnya   tarian  gunde ditarikan  secara   perorangan  dikampung-kampung  oleh para  wanita yang  masih  perawan  pada  upacara  perkawinan   yang  menggambarkan  kesucian  seorang  wanita  sangihe. Gunde dalam  bahasa  sangihe  berarti  lambat. ( A. Takaonselang-Manganitu,wawancara. 2006).
Pada suatu  masa  masuklah  kesenian  ini  menjadi  bagian  dari  kesenian  Istana  dikerajaan Manganitu. Penari  dipilih  dari  penari-penari  terbaik di tiap  kampung. Gerak  dasar  tari gunde  teradaptasi  dari  tari  lide. Mulanya   tarian ini  dipentaskan  sebagai  tarian  hiburan  untuk  raja, kemudian  berubah  fungsinya  menjadi  tarian  penjemput  tamu penting  kerajaan yang dilakukan di depan istana. Seiring  perkembangan  waktu,  ada beberapa  penari  gunde istana lalu  menjadi selir  raja. Persebaran  penari  gunde  meliputi  semua wilayah  kerajaan  Manganitu.
  1. Tari Rangsang Sahabe dan Tari  Alabadiri.
Tari  ransa / rangsang  sahabe atau dangsang sahabe adalah  tari  yang tercipta  dari sebuah  sayembara. Tarian  ini  lahir  dari  lingkungan  istana kerajaan tabukan tahun 1700.Pada  saat  itu  terjadi  kefakuman  jabatan  raja  setelah  Raja  Don Fransiskus Yuda – I  mengakhiri   jabatannya. Untuk   mengisi  kekosongan  jabatan maka  di persiapkanlah satu lomba khusus  kepada    dua  orang  calon  pengganti  raja. Dua  orang  tersebut adalah Dalero  dan Pandialang. Lomba  yang  disiapkan  adalah lomba  dayung (dorehe) . Jalur  yang  ditempuh mulai  dari Salimahe sampai ke Punge ( pulau beng laut).
Kompetisi itu  terjadi kira-kira  tahun 1720 dan   dimenangkan  oleh Dalero dengan kecurangan.  Dari  kemenangan  itu   dalero berhak  menduduki  tahta  kerajaan. Nama lain  dari  dalero   adalah Markus Jakobus Dalero. Untuk  memperingati kemenangan tersebut,  dalero  menciptakan  tari  yang  dinamakan  tari  Alabadiri. Pandialang hanya   menduduki  jabatan  Jogugu di Sahabe. Pandialang  yang  kecewa, lalu  menciptakan  satu   tarian tandingan  yang  disebut  Rangsang Sahabe. Secara umum  tari alabadiri  dan  ransang  sahabe  memiliki  kesamaan.
Tari alabadiri, dapat  dikelompokam  sebagai  bentuk tarian teatrikal. Penari membawakan peran dari  sebuah  cerita  dalam  bentuk  gerak tari.  Tari  alabadiri  terbentuk  dari 10 tahapan dengan konsep tari dan cerita yang  berbeda. Tari  alabadiri menggunakan beberapa properti pendukung tari  seperti ; kulubalang,kaliau,tokoting,sinsing,sondang. Tarian ini khusu  dimainkan oleh laki-laki diiringi “tambor” (bukan tagonggong) dan dipimpin oleh seorang  pangataseng  dan dua kapita.
Tahapan  tari alabadiri adalah :
  1. Penghormatan kepada penonton (pembukaan)
  2. Gerakan  dengan  alat kulubalang (tongkat berhias)
  3. Gerakan  dengan  alat tokoting (cambuk dari rotan)
  4. Gerakan  dengan  alat sinsing (cincin)
  5. Gerakan  dengan  alat sondang ( pisau kecil)
  6. Gerakan mesalai (menari-nari)
  7. Gerakan memainkan  kaliau (perisai) ke telinga
  8. Gerakan memainkan  kaliau (perisai) ke lutut
  9. Gerakan mangaemba (terbang  seperti burung)
  10. Penghormatan kepada penonton (penutup)
Filosofi  utama tarian  ini  bermakna  “tunduk  dan  patuh  pada penguasa.
Tari  Upase,  adalah  tarian  yang menggambarkan  kesiapan  pengawalan  raja  dalam  setiap  peperangan. Tarian  ini  disebut  juga  Opase.
Tari BÄ›ngko, adalah  tari yang  diadaptasi  dari peran  prajurit  kerajaan  Tabukan  dalam  mengawal raja. Tari ini   menggambarkan   kesiapan  pasukan perang dalam  menghadapi  musuh. Dalam  bahasa sangihe, bengko berarti tombak.
Tari  Kabasaran  Tambor. Tarian ini  menggambarkan  semangat perang, yang disampaikan melalui pukulan-pukulan  tambor. Diperkirakan  bentuk  kesenian ini teradaptasi  dari  kesenian  eropa. Tarian  ini  sudah  punah  dan tidak pernah  lagi  dimainkan.
  1. Tarian rakyat
  1. Tari Salo
Salo  berarti  mengamuk. Tari salo adalah  bentuk   tarian   purba yang  dilakukan  dalam upacara  sundeng sampai masuknya  bangsa eropa  di  Sangihe. Prosesi  salo  dilakukan  dengan  cara mengelilingi korban persembahan  berupa  babi. Diiringi  bunyi-bunyian  musik etnik sangihe sambil menikam  babi  yang tergantung  di  pohon. Tari salo  lahir  sebagai  ekspresi  perang  antara  kebaikan  dan  kejahatan  dalam  kepercayaan sundeng (G, Makamea,dan  masyarakat disekitar tempat upacara, wawancara, 2006)  Tari  salo  yang dulunya  bagian  dari kegiatan  ritual adat kemudian  menjadi  bagian  dari tari  pertunjukan rakyat.  Biasanya  tari ini  diperagakan   saat  ada kunjungan  tamu  terhormat atau dalam  acara tuludÄ›. Selain  salo  terdapat  juga  tari  upase,tari bengko,tari alabadiri dan dangsang sahabe yang  menggambarkan  semangat, dalam  bentuk tari theater. Tari  salo adalah  tarian  rakyat sedangkan tari  upase,tari bengko,tari alabadiri dan dangsang sahabe adalah  tarian  istana
  1. Tari Ampa wayer
Di era tahun  1940 – an, lahir  sebuah  kesenian  rakyat  baru,yang disebut “ampa wayer”. Kesenian  ini  adalah  kesenian  rakyat yang  muncul  dari kepulauan  Siau.  Kesenian  ini  merupakan  adaptasi  dan perpaduan  dari  kesenian eropa dengan kesenian  setempat. Tarian  ini  sudah   berkembang sejak masa  penguasaan  spanyol di  kerajaan  Siau dan menemukan  identitasnya  menjelang  berakhirnya  perang dunia ke -  II.  Ampa  wayer  adalah gerak  tari kelompok yang  dipimpin  oleh  seorang kapel. Gerakan tari terbentuk berdasarkan   irama  musik  pengiring . Pada  dasarnya,  inti   dari  kesenian  ini  adalah  tarian  muda-mudi  yang  ditarikan  secara  spontan   dalam  kumpulan  keramaian  sebagai bentuk  ekspresi  kebebasan dan  kemerdekaan.
  1. Tari  MÄ›dunde.
Tari ini berkisah tentang latar belakang  lahirnya pulau siau. Sepintas,   cerita   dalam  tari ini  mirip  dengan  kisah Tumatenden  dari  Minahasa  Utara dan kisah Joko Tarub dari jawa. Cerita  dalam   tari ini mengisahkan  perjodohan  antara seorang  laki-laki  bernama MÄ›dunde dengan  seorang  bidadari dari  khayangan. Awal kisah,  medunde seorang  yang pintar berpuisi  suatu  ketika  memasuki  hutan untuk mencari burung. Tetapi dia justru bertemu dengan  seorang  bidadari yang  sedang mandi  bersama 9 orang saudaranya.Salah  satu  dari  bidadari  itu   yang  kemudian  menjadi isterinya.  Dari  pernikahan  itu  lahir  dua orang anak bernama  pahawon sulugÄ› dan kanawoeng (kanawoeng  bergelar pahawontoka). Siau diambil   dari  kata sio (sembilan)  dari kisah sembilan  bidadari dan MÄ›dunde (buku toponimi,............sudin  kebudayaan dinas diknas,  2006)
  1. Tari Kakalumpang
Tari  ini  berkembang  sejak  masa  kekuasaan   VOC  di sangihe yang dipadukan  dengan  aktifitas  masyarakat. Latar  belakang ceritanya  adalah : Ternate sebagai perpanjangan tangan VOC  mengklaim  kekuasan  atas  sangihe, sehingga rakyat  sangihe   harus   memberikan  upeti  kepada  kesultanan ternate.
Upeti  yang  diberikan  berupa minyak  kelapa. Dari  kegiatan  mencukur  kelapa inilah lahir  kesenian  MÄ›kakalumpang. Tari kakalumpang juga mendapat  sentuhan maluku dengan  tari gaba-gaba.
Masih  banyak  kesenian sangihe yang tidak  dapat dikembangkan seperti : Seni mebowo dan seni meganding.Seni mebowo, adalah bentuk seni  yang dilakukan dalam  bentuk nyanyi untuk  menidurkan  bayi  dalam  ayunan.
Pengungkapan  lagu hanya  dengan  syair  yang  bermakna
puitis.
Selain  beberapa  kesenian   yang  sudah  dipaparkan  sebelumnya,juga  terdapat  kesenian  Islam asli  sangihe  yaitu : Hadrah mangut, Samrah dan Turunan. Semua  jenis  kesenian  Islam sangihe, pada awalnya lahir  dan  berkembang di  Tabukan  kemudian  menyebar ke seluruh  daerah yang  berpenduduk  muslim.
SENI  RUPA   SANGIHE
Seni rupa  adalah ungkapan  gagasan atau perasaan yang  estetis dan  bermakna yang diwujudkan  melalui  media, titik, garis, bidang, bentuk, warna, tekstur, dan gelap  terang  yang ditata  dengan  prinsip-prinsip  tertentu. Ekspresi   karya sani  rupa disangihe sudah  dilakukan  dari  saman   pra sejarah seperti  lukisan didinding goa, gerabah  dll. Penciptaan  karya seni rupa  di dominasi  oleh  karya  seni pakai dalam bentuk  kerajinan.  Yang  termasuk  karya  seni rupa  sangihe  diantaranya : Pembuatan    tekstil termasuk  didalamnya  busana  atau  pakaian  orang  sangihe,kerajianan  anyam,arsitektur  bangunan, ragam  hias,pembuatan  perahu. Semua  aspek  penciptaan  karya seni  rupa  sangihe  didasari oleh  aktifitas tradisi.
  1. Ragam Hias  sangihe
Sejak  masa  prasejarah,   suku sangihe  sudah   mengenal  dan  menggunakan  ragam  hias.  Ragam  hias tertua  ditemukan  pada  gerabah  atau  perlengkapan  dapur manusia   purba yang  oleh  para  ahli  diperkirakan   berumur 5000  tahun.
Dibawah ini   adalah  ragam  hias  yang dimodifikasi  dari ornamen dengan teknik  cukil  dan  tekan  (membutsir) pada  gerabah.
Persebaran  gerabah  terbanyak dengan  motif  seperti  ini  di temukan  di Talaud,juga di temukan  dibeberapa  gua karang  di   sangihe.
Ragam  hias  ini  di  kelompokan  dalam  tipe Raramenusa.
Selain  ragam  hias    tipe  raramenusa  terdapat  juga  ragam  hias  lain  berdasarkan  desain  dari  K.G.F Steller.   Ragam  hias  sangihe  digunakan  untuk   berbagai macam kerajinan  seperti  pada   pembuatan  tikar (sapie/tepihê), kain pembatas  ruangan ,kain  alas  tempat  tidur,ukiran  kawila (tempat sirih).
  1. Tekstil
Kerajinan   yang  berhubungan  dengan tekstil  di  kepulauan  sangihe  sudah  diproduksi sejak  lama, seperti   pembuatan  kain,tirai  pembatas  ruangan,alas meja, kain untuk   alas  tempat  tidur dan  pakaian.
  1. Tenun kain
Tenunan masuk  kewilayah  Nusantara bersamaan dengan  masuknya  bangsa-bangsa  yang  sudah  mengenal  perunggu  dan  besi.Mereka memperkenalkan alat  tenun  sederhana   yang  diikatkan  pada  tubuh  dengan  nama Gedogan.Tenunan  ini  menggunakan  susunan  benang  lungsi  yang  berkesinambungan. Jenis -   jenis  serat  yang  ditemukan  di Indonesia  sebagai  bahan  dasar  tenun adalah : serat   rami, lontar,raffia,abaca dan  serat  nenas.
Di Sangihe, benang  tenun   terbuat  dari serat  Abaca (musa textilis atau musa mindanesis ) sejenis  pisang pisangan dalam  bahasa  sangihe disebut koffo atau  hote. Tanaman hote  ini  dikenal juga  dengan  nama Manila  Hemp. (Cut Kamaril Wardhani,Ratna Panggabean,Tekstil,2005).
Motif -  motif  hiasan tenun  di Indonesia mendapat  pengaruh dari  china, india  dan  arab. Selain  sebagai busana, kain  digunakan  dalam  berbagai  aktifitas kehidupan  manusia  seperti upacara  keagamaan  dan mas kawin. (Ensiklopedi  Indonesia)
Suku  sangihe  mengenal  beberapa  teknik   pewarnaan   kain menggunakan  bahan  alam  sekitar.  Warna  merah, ungu, kecoklatan  menggunakan  kulit  batang bakau ( Mangrove) dan Seha atau  mengkudu ( Morinda citrifoia) Tanaman bakau  dan mengkudu tersebar di seluruh  desa di  pulau  sangihe  besar.Warna  merah dari kesumba. Dari bukti  kain  yang   ditemukan melalui   efek warna  yang  tersisa  dari kain – kain  tua tidak  ditemukan  teknik  pewarnaan menggunakan  warna  kuning.  Warna-warna yang  nampak pada kahiwu tua  adalah merah,ungu,kecoklatan, coklat muda yaitu  warna  asli  hote.
Aktifitas  tenun  sangihe mengalami  kemunduran mulai dari  tahun 1889. Pada  saat  itu  pohon – pohon pisang abaca dipotong  atas  perintah pemerintahan   colonial  belanda dan  diganti  dengan  kapas, tebu dan  tembakau. Kerajiann tenun bertahan sampai tahun  1994 dengan  dikirimnya  seorang  pengrajin asal  kampung  Lenganeng ke Jakarta. Meskipun  demikian,  sampai  saat  ini disetiap  desa masih  memiliki  satu  sampai  tiga  orang yang  boleh menenun  kain koffo.  Alat -  alat  tenun masa  lalu  masih  dimiliki  oleh  pengrajin  dibeberapa  desa  seperti,  Manumpitaeng, Lenganeng  Batunderang.
Tahun 1898,  kerajaan  Tabukan  mengirim  kain  koffo  di Manado atas  pesanan   para  orang kaya.Tahun 1924  kerajaan  Tabukan  mengadakan  pameran  kain  koffo di  Pekalongan dan  mendapatkan  penghargaan Erediploma. Tahun  1926  raja Tabukan  berpameran di Manado  mendapatkan   penghargaan tembaga. Ditahun  yang  sama  kain  koffo  di pamerkan di Jogyakarta.
Selain  memproduksi  kain  tenun (kahiwu),  suku  sangihe   juga  mampu  membuat  busana atau  pakaian. Secara  umum pakaian  laki-laki disebut  balí’, pakaian  perempuan disebut laku tepu, kemeja disebut ( baniang ).  Alat   yang  digunakan  untuk  menenun  kain  disebut Kahiwuang.
Dalam  kehidupan  sehari hari  suku sangihe  dimasa  lalu, pakaian dapat  menenunjukan perbedaan  status  social. Ada  pakaian  yang   digunakan  di kalangan  istana  dan para  bangsawan dan  ada  juga  yang  digunakan   oleh  masyarakat  biasa. Secara  umum   model pakaian  bangsawan dan  pakaian  rakyat  biasa tidak jauh berbeda.  Yang  membedakan  adalah  teknik  pewarnaan dan  atribut atau asesoris  yang  digunakan. Sejak  masuknya bangsa  eropa di  kepulauan  sangihe, pakaian  dan  asesoris  mengalami perubahan  model dan  fungsi  dalam  kehidupan bermasyarakat. 
  1. Pakaian   wanita    “ Laku   tepu
     
                         
Laku  tepu   seorang  perempuan   Manganitu,1920-an
   
  1. Model Konde
Konde  dalam  bahasa  sangihe disebut boto. Model Konde yang  digunakan  oleh   perempuan  sangihe  pada umunya  berbentuk boto pusige. Bentuk   konde  terdiri  dari  dua  macam  yaitu : konde untuk  ampuang  di rangkai tepat di ubun-ubun dan konde  umum berada  dipusar  kepala.
                       
                     
  1. Pakaian laki-laki  baniang (kemeja) dan  laku bali
  1. Model  poporong
Dalam  bahasa  sangihe,  penutup  kepala  adalah  poporong.Penutup  kepala telah  memberikan  batas   pada kedudukan  orang  sangihe dalam  pergaulan  sehari-hari, karena status  social dan kedudukan  orang  sangihe  tergambar  pada  penggunaan  dan  bentuk  poporong.
  1. Kerajinan  tangan (handycraft)
Kerajinan  rakyat yang  mendominasi pekerjaan  rumah  tangga  masa  lalu  adalah pembuatan  anyaman. Anyaman  sangihe  memiliki  cirri khas khusus dibandingkan  dengan  daerah  lain di Sulawesi  utara. Tidak  diketahui  kapan  orang  sangihe mulai menganyam.  Anyaman  sudah  menjadi  bagian  sehari-hari  dalam  kehidupan  orang  sangihe. Kebanyakan  dari  hasil  kerajinan  anyam  dibuat  untuk benda  pakai, seperti tikarbika,tempat  buah,keranjang,perangkap ikan dan  lain-lain.
                                      
Selain anyaman, orang sangihe juga memproduksi gerabah atau  tembikar (dari  bahan tanah) dan  alat-alat yang  dibuat oleh  pandai  besi. Aktifitas  pekerjaan  pandai  besi  sudah  dilakukan  sejak  masa  Makaampo. Pendapat  lain juga  mengatakan  bahwa produksi pandai  besi dimulai abad ke 15.  Alat  yang  dihasilkan  oleh  pandai  besi  tujuannya  sebagai  benda  pakai yang digunakan  di rumah,perkebunan  maupun untuk  berperang. Orang  yang  ahli dalam  menempah  besi disebut “kipung”.
Masyarakat  sangihe   juga mengenal seni teatrikal.  Kesenian  ini  berkembang di  daerah  kuma   yang  dinamakan Gagaweang. Kesenian  ini  ditampilkan  setahun sekali setiap  akhir  tahun. Teknik  pergelarannya dalam  bentuk parade  keliling  kampung dengan  pakaian  dan  atribut  kerajaan.  Komposisi  barisan  berdasarkan peran  sebagai  berikut : Barisan  terdepan  adalah  Raja  yang  diikuti  oleh bawahannya mulai  dari Bobato,Jogugu,Kapiten laut,Mayore,Hukum  Mayore,Sadaha, Kapita,Kumelaha,Sawehi (dukun),Mihinu ( Tukang  palakat).   Setelah selesai  berkeliling  kampung para  peserta  makan  bersama di  rumah  tua adat  atau  kapitalaung,  sebelum  makanan  ini  dimakan  bersama,  harus  dicicipi  oleh  orang  yang berperan sebagai  sadaha.  Dengan  maksud mengetahui  apakah makanan  tersebut  beracun  atau  tidak.
( Informasi, Bpk. Derek Lahunduitan,Kuma – November 2009)
ILMU  PENGETAHUAN  DAN  TEKNOLOGI
Orang sangihe  adalah  satu-satunya  suku pelaut di  utara  Indonesia. Nenek moyang orang  sangihe   sudah  mengarungi  lautan  luas ke timur  sampai  ke  halmahera dan papua, keselatan  sampai  ke pulau  jawa dan  sampai  ke luar  nusantara   yaitu  ke china.
“ Yang  pasti, pulau-pulau  ini sudah  sejak  penemuan Ferdinand  Magelhaes  dalam  tahun 1512, telah  berhubungan  dengan dunia  barat ,juga   oleh  penangkap  ikan  paus  dari  amerika.Orang  china  dan  orang arab sudah   sejak  dahulu mulai  berdagang  dengan penduduk dan kawin  dengan  wanita pribumi. Sebagai  pelaut  yang  berani penduduk  pulau ini sejak  berabad – abad  lalu merantau  dengan  perahu-perahu mereka  ke berbagai  bagian  kepulauan  hindia. Pieter Alstein dan  David  Haak dalam  laporan kunjungannya ke Talaud menulis  bahwa penduduk  dengan  perahu-perahu  sendiri  berlayar ke Batavia,Malaka,manila dan  Siam. (D.Brillman,Zending dikepulauan  sangi, dan  talaud.terjemahan  GMIST)
  1. Perahu  sangihe
Kemampuan membuat atau  merancang  berbagai  perahu  sudah dimiliki  sejak  nenek  moyang. Kemampuan  ini   tidak  dimiliki   oleh  suku  lain di Sulawesi  utara. Bahkan sampai  saat   ini,  beberapa kapal   yang  digunakan  sebagai  angkutan laut pada   jalur  pelayaran philiphin,talaud,manado,bitung, halmahera diproduksi  oleh  orang  sangihe yang bukan ahli  perkapalan  secara  akademisi.
Perahu  merupakan  sarana  vital yang  menghubungkan  beberapa  pulau di  kepulauan  sangihe.  Tanpa  perahu,  perekonomian  sangihe  akan  menjadi  pincang. Setiap  kampong  pesisir  memiliki ahli  membuat  prahu.  Kegiatan  ini  sudah  menjadi  bagian dari adat  sangihe. Dari budaya   membuat  perahu  kemudian  muncul  ritual  tua menondo sakaeng  atau menurunkan perahu.
Perahu sangihe  sudah  dikenal  secara luas sejak  masuknya spanyol di Sangihe. Perahu  sangihe   sering  digunakan  sebagai  armada  perang diantaranya sebagai  armada  perang  laut antara  portugis  dan  voc  di  tondano. Perahu  tertua  sangihe adalah  bininta atau tumbilung, kemudian muncul  perahu   kora-kora,konteng,londe dan bolotu, termasuk   diantaranya  perahu   untuk  lomba  dayung.
Penggunaan  perahu  dalam  aktifitas  sehari hari berbeda  fungsinya.  Perahu sangihe digunakan  untuk manangkap  ikan,berlayar  antar  pulau dekat,antar   pulau  yang  jauh,armada perang,sebagai  tumpangan  raja,sebagai  perahu  raja,perahu  pengawal  raja,perahu tempur,perahu tambangan (bolotu) perahu  ini  digunakan  apabila  perahu  kora-kora  tidak  bisa merapat  kepantai dan   perahu lomba. Sealain  perahu pakai  terdapat juga  miniature   perahu  yang  digunakan  dalam  upacara menahulending  banua yang  disebut   lapasi. Perahu  tersebut berguna  untuk  membawa   penyakit  dan  semua kesialan  manusia didarat  dan  dibuang   bersama  dengan  miniature  perahu kelaut.
Beberapa  model  perahu  berdasarkan desain K.G.F. Steller dalam buku   “ Sangirees– nedherlands woordenboek ” dari  model  yang sebenarnya dan  di  modifikasi untuk  disesuaikan  oleh  Alffian   Walukow.
  1. Perahu  Bininta
Grafland dalam  buku Minahasa  masa lalu  dan masa kini (terjemahan Jost Kulit) menulis  bahwa sudah  ada   perahu  sangihe yang  berlabuh  di  pelabuhan  manado  tahun 1800 dengan  nama perahu Kora-kora  dan  tumbilung. Perahu  tumbilung sama  dengan  bininta tetapi tumbilung menggunakan  tiga  bahateng.
  1. Perahu  kora – kora,  perahu  ini  adalah  perahu  kenegaraan raja-raja  sangihe.
  2. Perahu  jenis  londe dan  perkembangannya
  3. Perahu konteng
Perahu  ini  adalah  perahu   yang digunakan   raja   dalam  kunjungannya ke daerah  bawahan
Nenek  moyang  orang  sangihe sudah menggunakan  teknologi  dan  mengenal  ilmu  pengetahun  sejak  lama  diantaranya, pembuatan   berbagai  macam  perahu,mengenal sistim perbintangan, peredaran bulan di  langit dan  penanggalan  kalender. Tidak  diketahui  sejak  kapan  kemampuan  akan  pengetahuan   dan  teknologi dimulai   tetapi sudah  sejak  lama  digunakan.
NAMA  MATA  ANGIN
Mata angin   indonesia
Nama sangihe
Utara Sawenahe
Utara  timur laut Laesuiki sawenahe
Timur laut Laesuiki
Timur timur laut Laesuiki dahi
Timur Dahi
Timur  tenggara Mahaing dahi
Tenggara Mahai
Selatan  tenggara Mahaing timuhe
Selatan Timuhe
Selatan  barat   daya Tahanging timuhe
Barat daya Tahanging
Barat, barat daya Tahanging bahe
Barat Bahe
Barat, barat  laut Poloeng bahe
Barat laut Poloeng
Utara barat laut Poloeng sawenahe 
NAMA  HARI
Nama   hari  Indonesia
Nama Sangihe
Senin Mandake
Selasa Salasa
Rabu Areba
Kamis Hamise
Jumat Sambayang
Sabtu Kaehe
Minggu Misa
NAMA   BULAN  KALENDER   MASEHI
DALAM  BAHASA  SANGIHE
Nama bulan  Indonesia
Nama  Sangihe
Januari Hiabe
Pebruari Kateluang
Maret Pahuru
April Kaemba
Mei Hampuge
Juni Hente
Juli Bulawa kadodo
Agustus Bulawa geguwa
September Bewene
Oktober Liwuge
Nopember Lurange
Desember Lurangu  tambaru
DAFTAR  NAMA  BULAN DI LANGIT  BERDASARKAN HARI
Hari
Nama bulan
30
Tĕkalĕ
1
Kahumata – PakÄ•sa
2
Kahumata – karuane
3
Kahumata -  katelune
4
Sebangu – harese
5
Batangengu - harese
6
Likud’u  - harese
7
Sehangu -   letu
8
Batangu – letu
9
Likud’u - letu
10
Arang
11
Sehangu pangumpia
12
Batangnegu pangumpia
13
Umpause
14
Limangu bulang
15
Teping
16
Sai pakesa
17
Sai karuane
18
Sai katelune
19
Sehangu harese
20
Batangengu harese
21
Likudu harese
22
Sehangu letu
23
Batangengu letu
24
Likud,u letu
25
Awang
26
Sehangu pangumpia
27
Batangengu pangumpia
28
Umpause
29
Limangung basa
  1. Rumah Tempat  Tinggal
Berdasarkan  temuan  ahli, tempat   tinggal  manusia   sangihe  saman  pra  sejarah  adalah  di  goa – goa  karang. Dalam  legenda,  tempat  tinggal  manusia  sangihe   purba  adalah  di dahan  pohon  besar  dan di pohon  -   pohon  yang  roboh.  Seiring  perkembangan  waktu  dan dikenalnya  teknologi,  mereka  mulai  membuat  rumah – rumah  sederhana.
Pada  awalnya  bentuk rumah  sangat   sederhana.  Berdasarkan pemahaman beberapa  budayawan  sangihe  bahwa  rumah  orang  sangihe  adalah  pamangkonang. (wawancara. M. Madonsa.2007). Kemudian  berkembang  menjadi  rumah  ikat. Dikatakan  rumah  ikat  karena  tidak  menggunakan paku  tetapi  diikat dengan  rotan.
Rumah  suku  sangihe  tidak  memiliki  bilik atau  kamar. Sejak  masuknya  spanyol di  kepulauan  sangihe, orang  sangihe  sudah  mulai  mendirikan  rumah dengan  konstruksi  beton  menggunakann semen  dari  karang  yang dibakar. Di masa awal  kolonial  belanda  akhir  1700  sampai awal thn 1800  orang sangihe sudah  mulai  menggunakan  bilik  pada konstruksi  rumah. Rumah  ikat  terakhir  ditemukan  di  kampung Lehupu.
Konstruksi  rumah  kayu   orang  sangihe adalah  rumah  panggung. Diantara   rumah  yang  dibangun  terdapat  rumah  umum  dimana  rumah  tersebut  adalah  tempat  berkumpul  komunitas adat  dari  setiap  persekutuan  hukum adat terkecil  banua yang  dikemudian hari  menjadi  rumah  raja  atau istana. Rumah  tersebut  dinamakan  Bale Lawo.
Menjelang  berakhirnya   pemerintahan  kolonial  belanda, bale lawo mendapat  sentuhan  eropa dari  segi  kekuatan  konstruksi tetapi  tetap mempertahankan  keaslian  model. Rumah  sangihe  berdasarkan catatan  D.Brilman adalah :  Rumah-rumah  dibangun  diatas  tiang  tinggi, memiliki  tangga masuk kerumah yang diangkat  pada waktu  malam  hari. Terdapat  satu  serambi  umum yang  luas dan  satu bilik tinggal  yang  sama  luasnya  dengan serambi umum.Disebelah  kiri  dan  kana  terdapat  bilik  tidur  yang  dipisahkan  oleh dinding kayu,bamboo atau  tirai. Jika  salah  satu  anggota  keluarga  menikah  maka rumah  akan  disambung dibagian  belakang. Semakin  banyak  yang  menikah  maka  akan  semakin  panjang  rumahnya.  Rumah  seperti  ini  ditempati  oleh 25 sampai 30 rumah tangga. Konstruksi  rumah sperti  ini  terakhir  ditemukan di pulau-pulau Nanusa. Banyak   rumah  asli  orang  sangihe  mengalami pemusnahan  akibat  letusan  gunung  api.
  1. Bale  Lawo.
Bale  lawo atau istana  adalah  rumah  untuk  banyak  orang.  Rumah  ini  didirikan   sebagai  tempat pertemuan  masyarakat  umum  pada satu   kesatuan  hukum  dalam  komunitas adat  sangihe dengan  sang  raja  sekaligus  sebagai  tempat  tinggal  raja. Balelawo pertama kali  didirikan  oleh  Balango di sahabe.
  1. Makanan  tradisonal
  1. Makanan   umum
Makanan  utama   suku sangihe adalah sagu,  yang  diproduksi  dari  jenis pohon  palm.  Di  pulau  sangihe   terdapat  berbagai  jenis   palm diantaranya  adalah : Arena tau  enau ( Arenga pinnata ), pinang sirih (asal philiphina), Pinang  kelapa ( Actinorhytis calapparia),Sagu rumbia (Metroxylan sagu), Kelapa (cocos nucifera), rotan sega (calamus caesius), sarai raja (caryota no), Sarai midi (caryota maxima), palm kuning  dan merah endemic sangihe.  Melihat  bentuknya, pohon yang  memproduksi  sagu disangihe  adalah Sagu (Metroxylan sagu), sarai raja (caryota no) dan Sarai midi (caryota maxima).
Selain  mengkonsumsi  sagu,  masyarakat  sangihe juga mengenal adanya  beras yang  diproduksi  dari  ladang  kering. Selain  sagu  dan  beras,  makanan  khas  sangihe  adalah singkong (sangihe  = bungkahe),umbi  jalar (sangihe ; ima atau  batata) dan  talas  (sangihe = kole ). Setiap  hari  orang sangihe  memproduksi  sagu dalam  jumlah  yang  banyak. Tempat  untuk memproduksi  sagu  disebut pamangkonang. Sayuran  utama  orang  sangihe  adalah Sakede (daun  melinjo), sayur paku,sayur  gedi dan  sayur   wori. Ikan  laut  merupakan  lauk  utama ditambah daging  babi (untuk  yang  Kristen) dan  daging kambing  (untuk  yang muslim).
Pada  awalnya  orang sangihe  tidak  memakan daging tikus,anjing,kelelawar,ular dan biawak, tetapi  sejak  masuknya  orang  Minahasa di kelp. Sangihe  maka mulailah  orang sangihe  mengkonsumsinya. Diantara  makanan  yang  sering  dikonsumsi, resep tertua  adalah ketupat kuning, ikan laut  bakar,sagu bakar dan kuah sasi ( kuah  yang di campur dengan  ikan laut bakar). Resep makanan  yang  dominan  sampai  saat   ini  adalah Sagu bakar,ubi rebus, dipadu  dengan  sayur  santan  dan  ikan laut  bakar. Untuk  pesta  atau  acara  yang menghadirkan banyak  orang  selalu  disiapkan  ketupat.
Orang  sangihe mengenal  nasi  yang  dibungkus  sejak berakhir masa  kepercayan sundeng.  Pada  awalnya,  ketupat  atau empihise  menjadi  bagian  dari sesajen  dalam  upacara  persembahan yang  menggantikan kedudukan  manusia dan  hewan  sebagai  korban. Ketupat  yang  diwajibkan  dalam  sajen  adalah ketupat  dengan  nama bebatung  kambing.
Orang  sangihe  mengenal  16  jenis  ketupat  berdasarkan  teknik anyaman yaitu : bawatung, muntia, dokongmanu, buang tariang, kaemba, bituing,bebatun kambing, kasumbure, bininta, pikang,  sawaku, mehisa, waliung, batung kapese dan  kalemba. Ketupat  kalemba  adalah  ketupat  yang  paling penting dalam  upacara  keagamaan  masa  lalu.
  1. Tamo.
Berdasarkan  cerita   lisan, Tamo pertama  kali  dibuat  pada pesta  perkawinan Mangulundagho dengan Bangsang peliang di Bongko lumenehe (Kampung dagho sekarang) tamo dibuat  dari  bermacam macam makanan  yang  kemudian disebut Golopung (Gideon Makamea,prospek budaya dan  tradisi-tradisi  historis daerah  kab.kepl. sangihe dan talaud-2008).
Pembuatan Tamo kedua oleh Talongkati  (bibi dari Makaampo) pada acara perkawinan Makaampo. (Toponimi,cerita  dan…….2006). Tamo  adalah makanan  tradisional  khas  sangihe  yang tidak  dapat  ditemukan  ditempat  lain. Tamo adalah  makanan yang  memiliki   filosofi khusus yang  berhubungan  dengan  kehidupan  orang  sangihe  sejak nenek moyang. Filosofi  utama  dari  Tamo adalah  “Jawaban dan kehormatan” dalam  adat sangihe. Tamo  adalah bentuk  makanan  yang  memiliki  latar belakang cerita kehidupan  mula-mula disangihe.
Berdasarkan  sastera  lisan umum  di  beberapa  wilayah sangihe, tamo  pertama kali digunakan  bersamaan  dengan  keberadaan kerajaan Tabukan raya yaitu  pada pesta perkawinan mangulundagho dengan  wangsang peliang di dagho. (kampung  dagho  sekarang). Biasanya,  tamo  hanya disajikan  dalam acara  yang  menghadirkan banyak   orang. Karena  berdasarkan  tradisi bahwa  tamo  yang  dibuat  harus  habis  dimakan. Tamo  juga  sebagai  perlambang  undangan.  Jika  sebuah  pesta sudah  diletakan  tamo  pada  posisinya  maka semua warga  boleh  hadir dan memasuki  pesta tersebut. Dari  latar cerita  ini  maka  tamo adalah bagian  dari  kebersamaan. Kehadiran tamo  dalam  satu  acara mewakili semua makanan  yang  ada. Tamo  adalah  makanan  yang  paling  istimewah  diantara  makanan  yang  ada,  untuk  itu   tamo   harus  diletakkan di  tempat  yang  sangat  khusus. Dengan  syarat  dapat  dilihat  oleh semua  orang  yang  hadir  dalam  acara.
Resep  tamo tua  adalah  campuran dari  beras,umbi-umbian,gula, minyak  kelapa, tetapi  resep  ini  tidak  bertahan  lama  karena mudah basi. Pada  saat  ini  resep  tamo terdiri  dari  beras,gula  dan  minyak  kelapa.  Untuk  membuat  tamo  harus melewati beberapa  ketentuan  adat diantaranya, orang  yang  akan memasak tidak sedang dalam  keadaan  bertengkar  sebelum  sampai  ke dapur, tempat  untuk  meletakan  kuwali  harus  menggunakan  3 batu  sebagai   tungku. Karena  sakralnya  kue  ini  maka minyak  yang  menetes  dari  cetakan  tamo selalu  disimpan  sebagai  minyak  yg berkhasiat untuk  menyembuhkan  penyakit.
Bagian  terpenting dalam  pembuatan  tamo  adalah  ritual “memoto tamo”  (memotong tamo). Sebelum memotong tamo,  orang  yang  ditugaskan  untuk  memotong  tamo  harus  menyampaikan sasalamate yang dinamakan  sasalamate  tamo. Isi  dari sasalamate  tamo  adalah berkisah  tentang  tamo  itu  sendiri  dan pesan  atau nasehat tentang kebaikan  kepada banyak  orang. Sebagai sebuah   makanan  yang istimewah  maka  dimasa  lalu   tamo harus dibungkus  dan  tidak  terlihat.
Tamo, pertama kali dikenal dalam satu pesta perkawinan putri seorang raja dikerajaan Tabukan Tua. Pesta perkawinan itu terjadi sesudah berdirinya Kerajaan Tampungang Lawo, 400 tahun silam atau sesudah keruntuhan Majapahit. Pada masa lalu Tamo memiliki dua spesifikasi dari bentuk dan kegunaannya yaitu Tamo Boki  berwarna putih dan Tamo Coklat seperti yang masih dibuat sampai saat ini ( Drs. Bahagia Diamanis Sarjana Sejarah IKIP Negeri Manado,wawancara  2006)
Filosofi terpenting dari Tamo adalah Mengundang masyarakat banyak untuk datang dalam satu pertemuan. Masyarakat dari kalangan manapun boleh datang dalam satu hajatan atau acara syukuran tanpa diundang apabila didalam acara tersebut sudah terlihat Tamo.( Pernyataan Bapak Manossoh Ketua Dewan adat Sangihe dan bapak  Mehare dalam satu percakapan menjelang pembuatan Tamo Raksasa di Kantor Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Sangihe, 2006)
Tamo bukanlah status sosial tetapi pada akhirnya Tamo berubah kedudukan dan penggunaannya dalam acara-acara hajatan atau syukuran. Dikemudian hari Tamo menjadi bagian dari status sosial masyarakat. Hal ini terbukti dengan ditempatkannya Tamo pada acara-acara yang sangat khusus seperti acara-acara yang diadakan oleh  pimpinan daerah atau acara-acara lain yang sangat khusus seperti pesta pernikahan adat dan modern. Sampai saat ini belum pernah masyarakat sangihe membuat Kue Tamo sebagai  jualan dipasar atau sebagai makanan harian. Begitu sakralnya kue adat Tamo sehingga terungkap satu pernyataan lain yang mengatakan bahwa kue adat Tamo harus dibungkus dengan penutup yang tidak tembus pandang, karena berdasarkan kebiasaan bahwa kue Tamo itu Laksana seorang wanita cantik yang sangat terhormat.( pernyataan Hengky Natingkase S.Ip. Tokoh pemuda,2006 )
Berdasarkan kesepakatan antara pemuka adat Sangihe dalam dewan adat bahwa tidak boleh lagi menggunakan bendera pada pucuk Tamo. Dengan alasan bahwa tidak ada semangat bendera merah putih dalam kue adat Tamo karena Tamo sudah ada ratusan tahun sebelum Indonesia Merdeka. ( pernyataan bapak Mehare,anggota dewan adat dalam pembicaraan tentang Tamo Raksasa  di Kantor Disparbud Sangihe,2006)
Setelah selesai  diolah maka  tamo siap  di cetak  dalam  sebuah cetakan  dari bahan  alami  yaitu  bulu.
  1. Konstruksi  tamo
Tamo  memiliki unsur utama  yaitu  badan  tamo, ditambah  asesoris  pada  badan  tamo berupa  udang (dimasa lalu) dibagian  dasar diletakan bermacam – macam makanan  khas  sangihe.Pada  mulanya dibagian pucuk  tamo diletakan telur yang  melambangkan kehidupan  baru (sesuai  dengan  cerita manusia  mula-mula dalam  cerita gumansalangi) Sesudah perang  kemerdekaan maka symbol  telur  diganti  dengan  bendera negara merah putih, tahun 20006  tidak lagi  menggunakan  bendera pada  pucuk  tetapi  bunga  atau  telur.
BAHASA   DAN  SASTERA   SANGIHE
  1. Bahasa  Sangihe
Penggalian  bahasa  sangihe  pernah dilakukan  oleh  J.N.Snedon dalam  buku  Proto Sangiric and the sangiric languages.  Bahasa sangihe  termasuk   rumpun  bahasa  Austronesia atau  Melayu Polynesia dan  tergolong  dalam bahasa-bahasa  Philliphina. Ahli tata bahasa sangihe yang  terkenal  adalah Dr. N. Adriani dengan  karyanya Sangirische sprakunts. Kosa kata bahasa   sangihe yang  telah  dibukukan  dapat  ditemui  dalam  buku  karya dari Mr.K.G.F. Steller dan W.E. Aerbersol  dengan  judul Sangirische Nederlands woerdenbock. ( Decroly Juda,Spd.Tata Bahasa  Sangihe,2004). 
Bahasa   sangihe   tidak  mempunyai  aksara, karena  suku sangihe  tidak  mengenal  sistim  tulisan  sendiri.  Sejak masuknya  bangsa  Eropa,  orang  sangihe sudah   mulai menggunakan   huruf  latin  sebagai  bentuk  tulisan. Pengguna  bahasa  sangihe  meliputi Pulau  Sangihe  besar dan  pulau-pulau kecil  disekitarnya,Pulau siau  dan  sekitarnya,Pulau  Taghulandang  dan  sekitarnya,Pulau Talaud  dan pulau – pulau   diperbatasan  utara  Indonesia. Beberapa  daerah  disekitar  Minahasa  seperti  Belang, Bantik,Manado tua, Bunaken, Naenk, Siladeng, Mentehage, Gangga, Bangka, Talise, Likupang, Lembe, Sebagian Bitung, daerah  dikaki  Gunung  klabat. Pulau  balut  dan  Pulau saranggani  di Philliphina ( H. Kern dalam  Tata bahasa  Sangihe, Decroly Juda,2004)
Bahasa  sangihe  dan  bahasa  lain  di Sulawesi  utara memiliki kesamaan  tipe  yaitu Aglutinered  ( bahasa  yang  berafiks ).  
Afiks  adalah unsur yang ditambahkan pada  kata  dasar atau  bentuk asal   ( Daryanto, S.S,  Kamus   bahasa  Indonesia  lengkap,1997)
Bahasa  Sangihe terbagi   dalam  8 dialek yaitu  :
  1. Dialek Tabukan
  2. Dialek Tahuna
  3. Dialek Kendahe
  4. Kolongan
  5. Manganitu
  6. Tamako
  7. Siau
  8. Taghulandang
(Bawolle, 1981 dalam Prof. A.B.G.Ratu - Bahasa di Minahasa,Profil Kebudayaan Minahasa)
Secara umum,  bahasa  sangihe hanya  memiliki  tiga  dialek  yaitu dialek  Sangihe di Pulau  Sangihe,dialek  Siau  di Pulau Siau dan  dialek  Taghulandang di  Pulau  Taghulandang. Pengguna  bahasa  Sangihe di  Minahasa diperkirakan  berjumlah seratus  ribu  orang ( Profil Kebudayaan  Minahasa 1997). Di  Bolaang  Mongondow,  pengguna  bahasa  sangihe  meliputi beberapa  daerah  seperti Pedukuhan Dodap kecamatan  Kotabunan, Poigar, Kecamatan  Lolak, Pangi  kec. Sang Tombolang, Bintauna, Mokoditek  kec Bolangintang. ( Sastera Lisan  Bolaang Mongondow 1984)
Dalam ilmu  Bahasa, huruf  adalah  perlambang  bunyi, untuk  menulis aksara sangihe terdiri  dari 18  aksara latin  yaitu :  
(Decroly Juda,S.Pd,tata bahasa  Sangihe,2004).
  1. Sastra Sangihe
Suku  Sangihe  dimasa  lalu  tidak  mengenal sastra dalam  bentuk tulisan tetapi  memiliki banyak  sastra  lisan. Sastera dalam  kehidupan  orang sangihe  memiliki  makna  yang  sangat mendalam. Boleh  dikata bahwa  hidup orang  sangihe mengalir bersamaan  dengan  sastra lisan, menjadi  bagian  dari  jiwa,dan  menjadi pedoman  kehidupan  bermasyarakat. Satra  sangihe  di masa lalu telah  melahirkan  aturan terhadap  tatanan hidup.
Sastra  lisan  Sangihe sudah ditulis  oleh  beberapa  orang  dari  Belanda terutama  para  Zending  dan  pekerja gereja,  tapi  sampai  saat ini buku-buku  tersebut   tidak  pernah  ditemukan. Sastra  lisan  sangihe memiliki  fungsi masing – masing  berdasarkan bentuknya. Dalam  penulisan  ini, penulis  mencoba memaparkan secara singkat  beberapa bentuk  sastra dan  hasil karya  sastra dari beberapa penggalian  yang  sudah  terinfentarisasi.
Salah  satu hal  yang  mempersulit penginfentarisasian dan  pengembangan  sastra lisan  sangihe adalah ;
  1. Kebanyakan  dari  penutur  cerita  sudah  lanjut usia  sehingga memungkinkan punahnya  sastera lisan.
  2. Banyak  orang yang  memiliki  kemampuan menuturkan  sastera  lisan tidak  mau membagikannya   kepada   orang  lain,  menganggap  bahwa cerita  yang  dimiliki  adalah  milik keluarga.
  3. Tidak adanya  sistim  pewarisan secara  umum. Pewarisan sastera lisan  hanya  kepada orang  - orang  tertentu.
  4. Banyak  cerita  lisan  yang  sudah di tulis   oleh  beberapa  pemerhati   sejarah  dalam  bentuk  tulisan  lepas selalu disembunyikan.
  5. Tidak adanya kepedulian  pemerintah  dan   pihak  terkait  untuk  mengadakan  penggalian sastera lisan  sedalam  mungkin dan  kemudian membukukannya  secara  lengkap.
Hal-hal  yang memperkuat   tradisi  lisan  disangihe sehingga  mampu  bertahan  adalah keutuhan  bahasa  sangihe, dan merupakan  bagian  dari  adat  istiadat. Bahasa sangihe  digunakan  oleh suku  sangihe  yang  hanya menggunakan satu  bahasa   yaitu  bahasa  Sangihe. Dalam  kehidupan sehari-hari, bahasa Sangihe mengenal  stratifikasi dalam  penggunaannya  yaitu  pembedaan  usia  lawan  bicara.  Bahasa  sangihe terbagi  dari  dua  bagian  berdasarkan penggunaannya   dalam  aktifitas  berbudaya   dan bermasyrakat  yaitu : Bahasa  sangihe  sehari-hari dan Bahasa  Sangihe  sastra yang  disebut  bahasa  sasahara.
Sastra   lisan  sangihe digolongkan   dalam beberapa  bentuk  yaitu :
  1. Cerita,  berupa  hikayat  raja-raja dan  sejarah  kerajaan, cerita rakyat dan  dongeng, silsilah  raja-raja dan silsilah  keluarga.
  2. Prosa
  3. Puisi
  4. Me,bowo
  5. Ungkapan
  1. Hikayat   raja-raja
Sejak  masa lalu di Sangihe  telah  berkembang sastera lisan yang menceritakan kehidupan  raja-raja  sangihe seperti :
  • Cerita  Raja  Gumansalangi  dan Putri Konda asa.
Gumansalangi  adalah  laki-laki  yang  datang  dari  luar  kepulauan  sangihe yang  kemudian  bertemu  dengan Putri Konda asa atau Sangiang Konda Wulaeng. Dari pertemuan  dua   tokoh  tersebut  melahirkan  sistim kerajaan di  kepulauan  sangihe.
  • Cerita   Raja  Syam  Syach  Alam  dari  kerajaan  Kendahe yang  bersetubuh  dengan  anaknya  sendiri putri Bulaeng Tanding  yang  mengakibatkan hancurnya Tanjung  Maselihe. Dari  peristiwa  tersebut  telah melahirkan  suku baru yang disebut suku  Bantik.
  • Cerita Raja Makaampo yang  perkasa  dan  kejam.  Makaampo adalah   raja  yang  memiliki  banyak isteri. Pernah  megadakan  ekspansi  sampai  ke  daratan  Minahasa  dan  beberapa  kali  menghancurkan   pasukan  bajak  laut  dari Mindanao.  Karena   perilaku tersebut  akhirnya dikhianati  dan dibunuh oleh  pengawalnya  sendiri bernama  Ambala yang  bersekutu dengan  Hengkeng ‘u naung panglima  laut  dari  kerajaan Siau.
  • Cerita  kepahlawanan Raja  Bataha  Santiago  yang  tidak  mau tunduk   pada  kekuasaan  VOC. Akhirnya  dia dihukum mati pada   tiang  gantungan  oleh  Sultan  Kaitjil Sibori  (Prins  Amsterdam, sultan  Ternate   yang diangkat  oleh  VOC), atas perintah  Robertus  Pardbrugge (Gubernur VOC). Kematian  Santiago  adalah  hasil dari  pengkhianatan  temannya  sendiri   bernama Sasebohe  dan Bowohanggima.
Disamping cerita  tentang  raja-raja  terdapat  juga  cerita  kepahlawanan  para  pemberani  Sangihe  yang disebut Bahaning Beo’e. Dari  sekian  banyak  cerita kepahlawanan  terdapat beberapa  cerita   yang  melegenda didaerah dimana cerita  itu  diceritakan  seperti : Cerita  tentang Panglima  laut Hengkeng’u naung  dari  kerajaan  Siau. Cerita  tentang  Ambala pemberani  dari Tamako.
  1. Cerita   rakyat  dan  dongeng.
Ada  beberapa  cerita  rakyat dan dongeng  yang  sering diceritakan  seperti : 
  • Cerita Angsuang bake, raksasa  penguasa gunung  awu yang marah  dan mengakibatkan  lahirnya  gunung api Awu.
  • Cerita  percintaan  Sese Madunde dengan seorang bidadari  yang  kemudian  melahirkan  pulau siau.
  • Cerita  upung wuala.  Seekor  siluman  buaya yang  hidup  di Laine.  Jika  pemberian  yang  ia  minta  tidak diberikan  maka  siluman buaya  akan marah  lalu  memakan  korban  manusia.  Upung wuala  setiap  saat  selalu melakukan  perjalanan  dari  Laine  ke Salurang berjalan  tegak seperti manusia dan  menggunakan  iakat  kepala  merah.
  • Cerita percintaan Bangkoang dengan seorang  putri  dari  ulung peliang  berna  le’ku  dari  Tamako,Dari  percintaan  tersebut  melahirkan  perkelahian  dengan Bahede..
  1. Prosa
Sastera lisan  sangihe yag di golongkan  sebagai  prosa  adalah  Sasalamate. Prosa  adalah suatu bentuk penulisan cerita yang disusun  dengan bahasa puisi.
Sasalamate adalah :  puisi bebas yang  disusun dari  bahasa  sastra  sangihe dan  ungkapan-ungkapan sasahara yang  biasanya  dibawakan  pada  upacara  adat  tertentu,guna  keselamatan  bagi  orang yang  berkepentingan  dengan acara itu.  (Gideon Makamea,Mempelajari ungkapan dan sastera daerah, Sangihe I kekendage,2003)
  1. Puisi
Kesusastraan Indonesia  membagi  puisi  dalam  dua  jenis   yaitu  puisi  lama  dan  puisi baru. Karya sastra  lisan Sangihe   yang  digolongkan  sebagai   puisi termasuk  dalam  puisi  lama  yaitu :  Pantun (papantung,medenden), Teka-teki (tinggung-tinggung atau  tatinggung) dan mantra  ( orang  yang ber mantera disebut  makalanto). Dari  tiga   bentuk puisi sangihe yang  paling  banyak  perbendaharaannya adalah  Mantra.
Sampai  saat ini  masih  banyak  mantra  yang  dapat  diinfentarisir dari penduduk  sangihe. Perkembangan  mantera  di  kepl. Sangihe  melalui  dua periode  yaitu  Penggunaan  mantra  dimasa  sebelum  Islam  dan  di masa  sesudah  Islam.   Salah  satu  kata  inti  pada  mantra sebelum  masuknya  Islam  adalah kata  ruata, sesudah  islam  masuk  muncul  penggunaan  kata bismillah.
Mantera  sangihe  digolongkan   menjadi  beberapa bagian  berdasarkan fungsinya yaitu :
  • Mantra  untuk  membunuh  orang  yang  masih hidup.
  • Mantra untuk menghidupkan  orang mati.
  • Mantra untuk membuat sakit  orang  yang sehat
  • Mantra untuk menyembuhkan   orang sakit
  • Mantra untuk membuat orang  terpikat
  • Mantra untuk keselamatan  diri.
  • Mantra  untuk menangkal mantra
  • Mantra  untuk  kesaktian  seseorang.
  • Mantera  yang  berhubungan  dengan  gejala alam seperti menurunkan  hujan,menghilangkan hujan,mengusir  badai dilaut.
  1. Bawowo
Dari  sekian  banyak  sastera  lisan  di sangihe terdapat  satu  bentuk  sastera lisan  tertua  yang disebut Me,bowo atau  Bawowo.  Bawowo adalah suatu kegiatan  yang dilakukan   oleh  orang tua menggunakan syair-sayir indah, bernada seperti nyanyian. Bentuk  sastera  ini disajikan  pada saat menidurkan  anak. Isi bawowo terdiri   dari  satu  kalimat.
Contoh  bawowo : 
kawowo inang kawowo,ana nitendengi lawo,suhiwang takahalaweng,takaendengangu apa.
Artinya : Sayang si manis saying anak dimanja orang banyak, di pangkuan  yang dibentengi tidak akan mengapa.
(Gideon Makamea,Mempelajari ungkapan dan sastera daerah, Sangihe I kekendage,2003)
  1. Ungkapan
Ungkapan sangihe memiliki  kedudukan  penting  dalam
semua  satera  lisan  sangihe.  Hampir  semua  bentuk
sastera  lisan  sangihe memuat  ungkapan. Pada umunya
Ungkapan  sangihe  berfungsi sebagai  nasehat, peraturan 
dan motifasi  hidup.
Contoh  ungkapan  sangihe  yang  paling  dikenal  yaitu :
  • Somahe kai kehage
  • Mekaraki pato tumondo mapia, kaeng balang sengkahindo
  • I akang ganting gaghurang
  • Nusa kumbahang katumpaeng.
KERAJAAN   DI  SANGIHE
          Sangihe sudah mengenal  sistim  pemerintahan dalam  kehidupan bermasyarakat  dengan   bentuk  pemerintahan   kerajaan.  Sistim  pemerintahan   kerajaan  yang  dianut  oleh  kerajaan-kerajaan  di sangihe merupakan  bawaan  dari  sistim  pemerintahan  kesultanan  yang ada  di Philiphina. Kerajaan  mula-mula di bangun  atas  dasar kemonarkian  atau  wangsa, monarki  artinya dipimpim  oleh  satu  orang. Kepemimpinan  kerajaan dilakukan  oleh  satu  keluarga  yang  menurun  keanak  cucu,  berdasarkan  garis keturunan  laki-laki.
Diakhir  kekuasaan  kerajaan Tampungag Lawo, muncullah para  kulano dan Bahaning. Sejak  saat itu kedudukan  raja  diambil  alih  oleh  pemberani,  dalam  bahasa  sangihe  di sebut Kulano  atau  Bahaning  beo’ e. (di kepulauan  Maluku,  Kulano  adalah raja).
Jika dilihat  dari  kata  “Tampungang Lawo”  secara  luas berarti  tempat dimana  terhimpun  banyak  orang, menunjukkan  sebuah  demokratisasi  telah dibangun sejak  kerajaan  tua. Meskipun  kekuasaan  raja-raja  berdasarkan  wangsa tetapi harus  menghadirkan  banyak orang dalam setiap  keputusan. Perubahan  sistim  sosial  kekerabatan masyarakat sangihe mengalami  beberapa perubahan  mulai dari    sistim Patrilineal sejak Gumansalangi  Sampai  ke  Makaampo, sistim bilateral  sejak awal  kerajaan  Tabukan sampai masa  kolonial  belanda awal tahun 1800.Tetapi  ada  satu  masa  bersamaan  dengan pengaruh kuasa ampuang – ampuang perempuan,  sangihe  pernah  menganut  sistim  kekerabatan Matrilineal  yang  mengikuti  garis keturunan Ibu. Meskipun sistim  kekerabatan  pernah  berubah-ubah  tetapi  tanggung jawab setiap   keluarga batih ada pada  gaghurang (orang tua) dimana  suami  ataupun  isteri  bertanggungjawab bersama dalam  keluarga. Diperkirakan sistim  kekerabatan  dengan  mengikuti  garis  keturunan ayah (patrilineal) mulai  berlaku sejak ada  pengaruh  eropa  di  sangihe.
Penggunaan  marga atau fam mulai  berlaku sejak  diberlakukannya hukum atas tanah. Banyak  tanah  disangihe  yang  tidak  bertuan. Hal ini  dipengaruh olah sistim  perbudakan dan  kekuasaan raja  yang mutlak  dimasa lalu sampai kemudian  muncul tanah-tanah family. (di Minahasa dikenal  dengan tanah  Kalakeran). Masyarakat sangihe  hanya  mengenal  tanah   family  berdasarkan marga keturunan,  tanah  family  kerajaan  dan  tanah – tanah  bebas  (tidak  bertuan).
Tingkatan  sosial masyarakat sangihe menurut D. Brillman  adalah :
  1. Bangsawan, terdiri  dari raja-raja, jogugu dan keluarganya.
  2. Warga-warga yang bebas
  3. Budak  yang dimerdekakan
  4. Para budak.
Keturunan raja  termasuk   dalam  golongan  hokowalumpulo, keturunan  bangsawan termasuk  dalam golongan  hokolimampulo, rakyat biasa termasuk  dalam  golongan hokotalumpulo, budak digolongkan sebagai allangga. Struktur  pemerintahan kerajan  sangihe  adalah :Tingkatan  paling  tinggi  raja yang  disebut datu.Tingkatan  kedua  adalah bobato pimpinan  daerah dibawah  kerajaan  atau  setingkat  dengan adipati.  (adipati  adalah  jabatan  setingkat bupati dalam  tradisi  jawa). Tingakatan  ke tiga  Opo Lao  atau Kapiten Laut (ensiklopedia  Indonesia)
Struktur pemerintahan   kerajaan  di sangihe pada  masa VOC, mulai  dari  yang  tertinggi  sampai  yang  terendah.
  1. Raja  yang  disebut  datu
  2. Bobato (termasuk presidenti raja /pejabat raja sementara)
  3. Jogugu
  4. Presidensi Jogugu (bila diperlukan)
  5. Kapiten laut (laksamana)
  6. Mayore (Mayore gaguwa atau Mayore labo)
  7. Hukum  Mayore
  8. Sadaha
  9. Kapita
  10. Sangaji
  11. Kumelaha
  12. Sawehi (dukun)
  13. Mihinu ( Tukang  palakat)
( A. Horohiung dalam  buku Santiago  melawan VOC,1990)
Kekuasaan  raja – raja  di sangihe  mengalami  beberapa  bentuk pemerintahan  yaitu :  pemerintahan   raja-raja  asli  sangihe  berdasarkan wangsa/ keturunan  yang  terwaris  dalam  keluarga, pemerintahan   raja-raja  sangihe  berdasarkan pengaruh Spanyol dan  portugis, pemerintahan   raja-raja  sangihe  berdasarkan pengaruh VOC dan  pemerintahan  colonial   hindia belanda, pemerintahan  raja-raja sangihe  berdasarkan pengangkatan penguasa  jepang.
Sebelum  pengistilahan  raja digunakan dalam sistim   pemerintahan  kerajaan  sangihe, sudah didahului penggunaan kata  datu’  untuk  kedudukan raja. Pengistilahan ini  hadir  bersamaan  waktunya dengan  kerajaan mula-mula  di wilayah kepulauan  sangihe  yang  disebut  Kedatuan.Wilayah kepulauan  sangihe mulai dari pulau-pulau  di sekitar  Kepulauan Saranggani  Philiphina,kepulauan Talaud,kepulauan  Sangihe,kepulauan Siau dan  Taghulandang, dan  pulau-pulau  yang  ada  disekitar  jazirah Minahasa. Kerajaan  sangihe  melewati  masa  pemerintahan   panjang   mulai dari  kekuasaan dinasty  Gumansalangi yang berakhir  pada   masa VOC.
  1. Masa  kedatuan tua
Kerajaan yang   mula-  mula   berdiri  di  wilayah  teritorial  sangihe dikelompokan dalam  masa  kedatuan,  karena  pada  saat itu istilah  Datu digunakan  untuk pimpinan tertinggi kerajaan.Kedatuan tua yang  berdiri   mula – mula  adalah sebagai  berikut.
  1. Kedatuan Bowontehu.
Bowontehu  diambil  dari  bahasa  sangihe  Bowongkehu yang 
secara  harafiah berarti  diatas atau dipuncak  hutan. Wilayah
kerajaan ini adalah salah satu  dari 10  lanskap (kerajaan  kecil) 
yang diserahkan oleh sultan  Ternate kepada  VOC bersama 
dengan  kerajaan Tubuguo (Tabukan) tahun 1609. (Sejarah
Minahasa, Kontrak 10 Januari 1679, hal.61). Berdasarkan sastera 
lisan sangihe,   kerajaan ini  didirikan  oleh  datu Mokodoludugh
yang  oleh  orang  Mongondow  disebut Mokoduluduth pada 
abad ke - X. Kerajaan   ini dianggap sebagai  kerajaan  tertua
yang  menjadi bagian  dari wilayah  territorial  sangihe.
Mokodoludugh memperisteri Baunia dan  memperanakan 
Lokongbanua, Yayukbongkai, Uringsangiang dan Sinangiang.  
Lokongbanua  kemudian  menjadi Raja  kerajaan Siau  Pertama.
Bowontehu pada  masa kekuasaan  raja Pasibori (sultan  dari 
ternate), ditaklukan  oleh  raja dari  kerajaan  Bolaang  bernama
Damopolii (kinalang). (sejarah  kerajaan  Mongondow,Tabloid 
Media Edukasi, Nov.2009)Kedatuan  Tampungang 
lawo.Didirikan  pada  kurun waktu tahun 1300 M (dijelaskan 
dalam  sejarah  kerajaan   tampungan  lawo).
  1. Kedatuan  Tampungang  Lawo
Kedatuan Tampungan  Lawo sudah melegenda   karena  diceritakan  secara  turun-temurun  oleh  orang  sangihe  sebagai  sastera  lisan,  baik  itu  melalui  sasalamate,papantung,tatinggung  ataupun  lagu-lagu  masamper.  Tampungang  lawo  merupakan  bagian  yang  tidak  dapat dipisahkan   dari    sejarah  sangihe, meskipun   belum  ditemukan  bukti  berupa benda sejarah   yang  berhubungan dengan   kerajaan   Tampungang  Lawo. 
Kedatuan Tampungang  Lawo   pertama
Konon, Kedatuan  Tampungang  Lawo  didirikan  oleh  Gumansalangi   pada tahun 1300  sampai 1400 yang  berpusat  di Manuwo ,kini  disebut  kampung Salurang. Diperkirakan masa Gumansalangi dimulai akhir tahun 1200 sampai awal tahun 1300. Pada  masa  ini  dimulailah  sistim  pemerintahan  monarkih kerajaan pertama  Sangihe. Gumansalangi  yang memperisteri Sangiang Konda Wulaeng  memperanakan Melintangnusa   dan Melikunusa(D.B. Adrian  “Renungan  kisah Sangihe  Talaud”    dalam  Toponimi,cerita  rakyat dan  sejarah   dari  kawasan  Nusa  utara,Diknas Tahuna).
Wilayah  kekuasaan  kerajaan  Tampungang  Lawo membentang  dari  Mindanao  sampai  ke  Bolaang  Mongondow.  Panglima  perang  kerajaan  Tampungan  lawo  adalah Melintangnusa yang  memperisteri Sangiang Hiabe puteri Abubakar (seorang  pemberani  dari  Tugis,  Philliphina). Melikunusa  berlayar  ke  wilayah  Mongondow dan  mempersunting Menong Sangiang.
Gumansalangi  mewariskan  kerajaan pada anaknya Melintangnusa tahun 1350. Menjelang akhir hidup Melintangnusa  berlayar ke Mindanao  dan  meninggal  disana. Sejak meninggalnya Melintangnusa,  kerajan  diserahkan  kepada  anaknya Bulegalangi dan Pahawonseke. Sejak saat  itu  pusat  kerajaan  terbagi  dua.
  • Kerajaan  Tampungang lawo dengan  pusat  kerajaan di Sahabe
  • Kerajaan  Tampungang lawo dengan pusat  kerajaan di Salurang.
Kekuasaan  kerajaan yang berpusat di Salurang  diserahkan  kepada  anaknya  bernama Bulegalangi. Dalam  menjalankan  pemerintaha Bulegalangi  dibantu oleh  anaknya bernama Matandatu. Saudara laki-laki Bulegalangi bernama Pahawongseke pindah  ke Sahabe (Tabukan Utara  sekarang),  dan  membentuk  pemerintahan baru. Pemerintahan  dibantu  oleh anaknya Pangatorehe. Setelah raja Bulegalangi meninggal, puterinya bernama  Sitti Bai dipersunting  oleh Balanaung sedangkan  Puteri Aholiba dipersunting oleh Mengkangbanua dan berpindah  tempat  tinggal  ke  Tariang  tebe (sekarang kampung Tariang Lama).
Kedatuan  Tampungan Lawo di Sahabe (1400-1530).
Kerajaan  Tampungan lawo di Sahabe  didirikan   oleh Kulano Pahawongseke (putra  dari Melintangnusa).  Pusat  kerajaan  adalah  Limu (dekat kedang atau  sahabe behu). Kerajaan  Tampungan  lawo di sahabe  kemudian  dikenal  dengan nama kerajaan sahabe, juga  dinamakan  kerajaan  limu.  Wilayah  kekuasaannya dari  tanjung salimahe sampai  ke tanjung lehe,termasuk pulau nusa,bukide, dan  buang  (sekarang Tabukan tengah). Pahawongseke diganti  oleh puteranya Pangalorelu. Pangalorelu diganti  oleh Mamatanusa. Mamatanusa kemudian  menjadi  raja  terakhir di  kerajaan sahabe. Mamatanusa  memperisteri  Neneukonda dan memperanakan  dua orang  puteri  bernama Somposehiwu dan Timbangsehiwu.  ( Dari  sumber  cerita lisan  lain, Raja  terakhir  kerajaan Sahabe  adalah Pontowuisang, yang  memperisteri Belisehiwu.  Pontowuisang adalah raja siau yang  menyuruh Hengkengunaung untuk membunuh  Makaampo).
Kedatuan Tampungang  lawo di Salurang
 (1400 – 1500 an )
Kerajaan  ini didirikan  oleh Kulano Bulegalangi (putra dari Melintangnusa),  yang  berpusat  di Salurang.  Wilayah  kekuasan  kerajaan  Tampungang  lawo di salurang mulai  dari  tanjung lehe ke pungu  watu, termasuk  pulau-pulau marore, kawio, kemboleng, memanu, matutuang, dan dumarehe. Pemerintahan  Bulegalangi  dibantu oleh anaknya  bernama Matandatu yang juga  sebagai panglima  perang.Setelah  wafatnya  Bulegalangi,  kekuasaan raja  diganti  oleh puteranya Matandatu . Pemerintahan  Matandatu dibantu  oleh  anak-anaknya, Makalupa, Ansiga, Tangkaliwutang dan saudara  perempuan mereka Talongkati.  Talongkati  adalah  anak  yang  paling  berani  sehingga  mendapat  gelar Bawu Mahaeng.
Salah  satu  anak  dari Matandatu bernama Tangkuliwutang kemudian memperanakan Makaampo Wewengehe. Makaampo  lahir pada  tahun 1510 di  Rainis (Talaud) dari ayah  bernama Tangkuliwutang  dan ibu  bernama Nabuisang (dari Talaud). Nabuisang  adalah anak  dari Saselabe (di taghulandang) dengan isterinya  Putri Din (perempuan dari  bangsa jin). Makaampo  dilahirkan  kembar, dan  kembarannya  adalah  seekor  ular bernama Uri Makaampo. Isteri pertama Makaampo adalah Marinsai.( H.Juda “ Manga wÄ•keng Asaļ ‘u Tau  SangihÄ• “). 
 Setelah dewasa makaampo memperisteri  Marinsai orang  Bowongkalumpang anak  dari Bolinsangiang, Makaampo meninggalkan  perempuan  tersebut karena  kedapatan  berselingkuh  dengan  laki-laki lain. Seterusnya Makaampo memperisteri Rampeluseke seorang  perempuan  dari Salurang, kemudian  memperisteri  dua orang kakak beradik Somposehiwu dan  Timbangsehiwu. Sejak memperisteri Somposehiwu dan  Timbangsehiwu berakhir pula  kerajaan Tampungan lawo di salurang.
Latar  belakang  meluasnya   wilayah  kerajan Tampungang  lawo di salurang  adalah  sebagai  berikut :
  • Makalupa (anak dari Matandatu) mengambil  Kindi  Sangiang  sebagai  isteri  ketika Kindi Sangiang sedang  melingkarkan  kain sehabis mandi,  itulah  sebabnya  tempat  tersebut  dinamakan  Pendarehokang. Setelah memperisteri Kindi Sangiang anak  dari Menentonau,( kulano  di Kauhis) wilayah  kekuasan Menentonau yang meliputi Lelapide sampai ke Pendarehokang  diserahkan  kepada  anaknya Kindi Sangiang.
  • Ansiga (anak dari Matandatu ) memperisteri Gaupang (Raupang)  anak  dari Panglima perang Dagho bernama Ansaaralung.  Kekuasaan  Ansaaralung  di dagho  yang  meliputi  Toade  manandu sampai ke pulau-pulau Mahengelang diserahkan kepada anaknya Gaupang.
  • Wilayah dari Toade manandu  sampai ke  Tanjung lelapide termasuk Tamako diserahkan ke kerajaan  Tampungang  Lawo di Salurang  atas  isin  dari Kelungsanda panglima  perang  Tamako.  Isteri dari  Kelungsanda  adalah Taupangkonde. Taupangkonde adalah  saudara kandung  dari Gaupang (isteri dari Ansiga)
Kedatuan  Tampungan Lawo kedua
(lahirnya  Kerajaan Tabukan besar yang disebut  Rimpulaeng ) .
Kedatuan Tampungang  lawo  yang  dulunya  terpisah kemudian lenyap, dipersatukan  lagi menjadi  sebuah  kedatuan besar. Kedatuan  ini  didirikan  pada tahun 1530 oleh Makaampo  Wewengehe yang berpusat  di limu atau  sahabe Behu di daerah bekas  pusat  kedatuan Tampungan  lawo  Sahabe.
Wilayah  kekuasaan  kedatuan  Tampungan lawo kedua meliputi Tanjung Salimahe  ke Pendarehokang sampai  ke  pulau  Marore, Mahengetang  dan  kepulauan  Talaud.  Pada   masa pemerintahan Makaampo Wewengehe di Sahabe Behe, dia didampingi  oleh  permaisuri  Sompo  sehiwu. Sedangkan permaisuri Sompo Sehiwu tinggal di Salurang.
Makaampo  Wewengehe dikenal  sebagai  raja perkasa, yang  memerintah  dengan kejam. Akibat kekejamannya  itu dia  dibunuh  oleh seorang  pemberani  dari  Tamako  bernama  Ambala  yang  bersekutu  dengan  panglima  laut  kerajaan  Siau  bernama Hengkeng u’ naung  di  pantai  Batu keti’ pada tahun 1575. Leher Makaampo  dipotong  dan  kepalanya  di antar  ke pehe - siau.Lalu kemudian  di ambil  oleh  Ansiga dan  Makalupa  dan  dikuburkan di salurang. Makaampo adalah  datu terakhir  kedatuan Tampungang Lawo  yang  mendirikan  dasar  atas  kerajaan  Tampungang lawo  baru  dengan nama Tabukan. Setelah Makaampo meninggal, kedudukan  datu diganti  oleh  anaknya Wuateng Sembah. Sejak saat itu mulai dikenal  kerajaan  Tabukan yang berpusat di Salurang.
  1. Kedatuan Mangsohowang. Wilayah   kedatuan  ini  berada  di  kaki  gunung  awu, pulau  sangihe. Kedatuan  ini  hilang  akibat  letusan gunung  api  awu.
  2. Kedatuan   Karangetang. Kedudukan  kedatuan  ini  berada  di  pulau  Siau. Didirikan  oleh pangeran Kedatuan  Bowontehu bernama Lokongbanua. Lokongbanua  adalah anak  tertua  dari Mokodaludugh yang  lahir di gunung Lokon. Kekuasaan  Lokongbanua  atas kedatuan  Karangetang berlaku pada tahun 1510 – 1540 (meninggal).  Pusat pemerintahannya di  Katutungang (sekarang bernama Paseng). Lokongbanua  memperanakan Passuma dan Angkumang.
  1. Masa Sesudah  kedatuan ( masa  awal hubungan  Eropa dengan  kepulauan  Sangihe)
Pada   masa  ini semakain  nyata  keberadaan  bangsa  Eropa di daerah  utara  Nusantara. Kerajaan -  kerajaan   di sangihe  pada   waktu   itu   mengalami berbagai  situasi  dan tekanan akibat   perebutan   wilayah   kekuasaan oleh  Kerajaan – kerajaan dari  Eropa.
  • Portugis  berhubungan dengan Sangihe sejak tahun 1563.
Tahun 1563, Raja Siau bernama  Possuma dibaptis di Manado oleh Pater Diego de Magelhaes dari Portugis. Sejak  saat  itu  terbukalah  hubungan  portugis  dengan Kepl. Sangihe  Talaud.
  • Spanyol  menguasai  Sangihe   pada  tahun 1565.
Hubungan  Spanyol  dengan Kepulauan Sangihe sudah   dimulai  tahun 1521. Gugusan kepulauan  Philliphina yang  bertetangga  telah diduduki Spanyol tahun 1565, pada  saat   itu  raja  yang  berkuasa di kerajaan  Siau  adalah Raja  Jeronimo.
  • VOC  berdiri tahun 1602 dan memulai kekuasaannya di  sangihe tahun 1677.
Pada tanggal 1 November 1677, Raja Amsterdam dari Ternate ( Kaitjil Sibori )  merebut  benteng Spanyol “Sancta Rosa” di Siau dan  menyerahkannya  pada Gubernur  Jenderal Robertus  Paddbrugge atas  nama  VOC. Pada  saat  itu  pula  ditandatangani perjanjian  antara  VOC dengan Raja Siau  Franciscus  Xaverius   Batahi. Perjanjian  yang  sama  juga  berlaku   terhadap kerajaan Tabukan,Tahuna dan Kendahe dan  Taghulandang.
  • Pembubaran VOC tanggal 31 Desember  1799. Sejak  saat  itu  daerah  kekuasaan VOC  di ambil  alih  oleh Pemerintah  Belanda,  tetapi  kekuasaan  VOC atas Sangihe  nanti  berakhir  tahun 1789.
  • Awal dimulainya pengaruh kekuasan pemerintahan  hindia  Belanda di  kepulauan  sangihe  yaitu  pada tahun 1821 dengan dikirimnya Zendeling J.C. Jungmichel  dari Ambon  oleh Pendeta  Joseph Kam.
Dari  penjelasan  diatas   dapatlah ditarik kesimpulan  bahwa sejak  tahun 1563, kerajaan – kerajaan disangihe sudah  berhubungan  dengan Portugis,Spanyol dan  VOC.  Sejak  tahun 1821 kekuasaan  kerajaan  disangihe  mulai  di  pengaruhi  oleh  pemerintah  Hindia  Belanda. Pada   masa  pemerintahan  Hindia  Belanda  sejak  tahun 1821,  sistim  pemerintahan  kerajaan   tidak lagi  berdasarkan  wangsa  tetapi berdasarkan kehendak  Pemerintah Hindia Belanda.
Pada   masa itu    di  wilayah  teritorial  Sangihe  sudah  ada  keraajaan-kerajaan yang  dipengaruhi  oleh  Eropa.  Kerajaan -  kerajaan  tersebut  adalah :
Periode Pertama :
  1. Kerajaan  Manarou (Manado).
Manarou bukanlah Minahasa.  (sejarah  Minahasa-Kontrak
19 Januari 1679). Manarou  diambil dari  kata bahasa 
sangihe  Mararau,marau  yang  berarti  jauh. Kerajaan  ini 
berpusat di Pulau Menado  Tua tepatnya di  tempat  yang 
bernama negeri  (desa menado tua – I, sekarang). Kerajaan
Manarou didirikan  oleh Daloda Loloda Mokoagow pada 
kurun waktu tahun 1644-1674.  Penduduk  kerajaan  ini 
adalah  orang sangihe (Graafland, Minahasa  masa  lalu   dan 
masa kini, terjemahan  Joost Kulit.) Menurut  Catatan
Robertus Padburgge,1867, Kerajaan  ini  hancur  akibat 
perang berkepanjangan  dengan Kerajaan Bolaang.
  1. Kerajaan  Kolongan.
Kerajaan  ini menggantikan  kedudukan kedatuan
Mangsohoang. Diawal kedatangan Eropa, kerajaan ini
Diperintah  oleh  raja Pontoralage pada pertengahan  tahun
1500.
  1. Kerajaan  Siau.
Diawal kedatangan Bangsa  Eropa, Kerajaan  ini  Dibawah
kekuasaan Raja Passuma. Masa pemerintahan Pasumah
tahun 1540-1575. Raja  Passuma  meninggal  tahun
1587,dan  diganti  oleh   anaknya Don Jeronimo  
(Pontowuisang / Betewiwihe)Tanggal 16 Agustus 1593,
Don Jeronimo mengucapkan  sumpah  setia  kepada
pemerintah Spanyol di Manila melalui gubernur  Spanyol
Gomez Perez Dasmarinas.  Don Jeronimo memperanakan
Winsulangi. Tahun 1619, Raja Winsulangi  dibaptis di
Paseng dan  menjadi Don Jeronimo Winsulangi.
(D.Brillman,Zending di Kepl.Sangi  dan Talaud). Don
jeronimo  Winsulangi  diganti  oleh  anaknya Batahi, 1642-
1678. Pusat   kerajaan  dipindahkan  dari Paseng ke Pehe.
  1. Kerajaan  Tabukan,
Raja yang  memerintah  kerajaan tabukan  dimasa awal kedatangan bangsa  Eropa adalah raja Wuateng sembah (Pahawuateng). Kerajaan  ini  berpusat di Sahabe. Wuateng  memperisteri Tasikoa,putri Ratu  Lohoraung  dari Taghulandang. Wuateng  sembah  diganti  oleh anaknya Markus Vasco da Gama. (Gamang Banua). Raja  ini   memerintah  disaat  Spanyol  masuk di Tabukan.
Periode ke dua
  1. Kerajaan Tahuna dengan  nama lain Malahasa,
Berpusat di bukide Tahuna. Kerajaan Tahuna didirikan  oleh  raja  Tatehewoba (Ansawuwo) putra  raja Pontoralage tahun 1580 – 1625. Tatehe memperisteri Doloweli anak dari Makaampo dengan  isteri Timbangsehiwu. Tatehewoba diganti  oleh anaknya Buntuang,  lau diganti lagi  oleh anaknya  Don Marthin Tatandangnusa.
  1. Kerajaan Kendahe dengan nama lain Malinggaheng, berpusat di Makiwulaeng. Raja  pertama  kerajaan  kendahe  bernama  Egaliwutang (Mehegalangi) putra  dari  Sultan Ahmad di  Mindanao. Memerintah tahun 1600-1640. Egaliwutang  diganti  oleh anaknya Wuisan.  Raja  Wuisan  pindah   ke Minahasa sejak  kembali  dari Mindanao setelah  mengetahui   isterinya sudah  kawin  dengan   orang lain. Keberadaannya di Minahasa tidak  diketahui. Kedudukan  raja  Wuisan diganti  oleh anaknya Syam Syach Alam.
  2. Kerajaan Taghulandang dengan  nama  lain Mandolokang, berpusat di  Tulusan.Raja pertama  kerajaan Taghulandang  adalah seorang  perempuan  bernama Lohoraung. Masa pemerintahannya  1570-1609.
  3. Kerajaan  Manganitu dengan  nama lain Maobungang, Kerajaan  Manganitu didirikan oleh Tolosang (liung tolosang) dengan  nama  kerajaan Kauhis, pada  tahun 1600. Kekuasaannya  berlangsung sampai  tahun 1645. Pemberian  nama Maobungang  diambil  dari  kisah seorang  pemberani  dari Barangkalang  bernama Lumanu yang  memiliki  ilmu  sakti  dari  asap  rokok. Ilmu  tersebut  kemudian  terwaris  kepada  Raja  Manuel Hariraya  Mokodompis (tanawata).  Pusat  kerajaan  pertama  terletak  di Bowongtiwo (kampung kauhis  sekarang). Tolosang adalah  anak  dari Jogugu Naleng dari Manganitu dengan isterinya Kaeng (lekung) Patola. Kaeng patola  adalah anak dari Kulano Makalupa dan Kindi Sangiang. Tolosang kemudian  memperisteri Ahungsehiwu dan memperanakan Tompoliu dan Lembungsengsale. Tahun 1645 sampai 1670,  Tompoliu  menjadi  raja  atas kerajaan Manganitu dan  memindahkan  pusat  kerajaan  dari Bowongtiwo ke Tatahikang.   Tompoliu memperisteri Lawewe dan memperanakan Bataha Santiago, Charles Diamanti, Sapelah, Apueng dan Gaghinggihe.
Sejak  Tompoliu  meninggal, kekuasaan raja  di  ganti oleh Bataha Santiagho. Santiago  adalah  raja sangihe  pertama  yang  menentang   VOC  dimasa  akhir kekuasaan VOC. Sejak di bunuhnya  Santiago  oleh  VOC,  kekuasaan  raja  tidak  lagi  berdasarkan  kemonarkian keluarga  raja  tetapi  berdasarkan  keinginan VOC dan  berlangsung  terus  sampai  masa Kolonialisme  bahkan sampai  pada  masa  pendudukan Jepang. Pada  masa  pemerintahan Willem  Manuel  Pandensolang  Mokodompis, raja  ini  berkuasa  atas  tiga wilayah   yaitu   kerajaan  Tahuna,  Kerajaan  Manganitu  di  Karatung  soa  dan Kerajaan  Manganitu  di Tamako. Hal ini  terjadi karena  pengaruh kekuasan  Belanda.
          Sistem Monarki kerajaan-kerajaan Sangihe berakhir sejak dimulainya Pemerintahan Kolonial  Belanda. Kekuasaan  belanda mulai  menguat  di Sangihe   setelah  beberapa  Raja  menandatangani  perjanjian  persahabatan (Lange Verklaring Contrac) mulai  dari tahun 1677.  Raja – raja  yang tunduk  adalah :  Fransiscus Makaampo Juda – I Raja Tabukan, Don Marthin Tatandangnusa raja Tahuna, Takaengetang (Djoutulung) Raja Manganitu. Wuisan Raja  Kendahe, Philips Anthoni Aralungnusa Raja Taghulandang, Don Jeronimo Winsulangi Raja  Siau. Sejak saat itu pengangkatan raja dilakukan tidak lagi berdasarkan garis keturunan waris raja kepada anak laki-laki tertua tetapi diangkat berdasarkan kepentingan Belanda.
DAFTAR  PUSTAKA
1 A.Horohiung, Santiago  melawan VOC
2 Abay D. Subarna dan Tim, Sistim Tulisan dan  Kaligrafi, Lembaga Pendidikan Seni Nusantara2006
3  Ayip Rosidi, Puisi  Indonesia  - I, 1969
4 Bustanuddin  Agus,Agama   dalam  kehidupan  manusia,pengantar antropologi  agama.PT. Raja  Grafindo Perkasa.2006
5 Cut Kamaril  Wardani,Ratna  Panggabean,Tekstil,Lembaga Pendidikan Seni Nusantara,2005
6 D.Brillman, Zending di Kepulauan  Sangi dan  Talaud.(terjemahan)BPH Sinode GMIST,1986
7 D.J. Walandungo, Tesis, Islam Tua, terpasung dan  merana.
8 Dr. H. Berkhof, Dr. I.H. Enklaar,Sejarah  Gereja,BPK Gunung Mulia, 1987
9 Dr. Harun Hadiwijono, Kebatinan  dan Injil,BPK Gunung Mulia, 2006
10 Dr. Harun Hadiwijono,Religi  Suku Murba, BPK Gunung Mulia, 2006
11 Drs. Bakar Hatta, Sastra Nusantara,1982
12 Esther  L. Siagian, GONG,Lembaga  Pendidikan Seni Nusantara, 2006
13 Gideon  Makamea, Tulisan lepas  tema  sejarah  dan  budaya  sangihe.
14 Gideon Makamea, Mempelajari Ungkapan Dan Sastera  Daerah, 2003
15 Gideon Makamea, Prospek Budaya Dan  Tradisi-tradisi historis daerah  Kepulauan Sangihe dan Talaud. 2008
16 Hasil  Sarasehan  Budaya Sangihe Talaud,Tahuna,1994
17 I Wayan Dibia, Tari Komunal, Lembaga Pendidikan Seni Nusantara,2006
18 Irwansyah  Harahap, Alat  Musik  Dawai, Lembaga Pendidikan Seni Nusantara,2005
19 Jhon Rahasia, Penemuan  Kembali  Tagaroa.Yayasan  Tagaroa,1975
20 Johanis Saul.M.Hum. Ragam Hias  Sangihe
21 Decroly Juda,S.Pd, Tata Bahasa Sangihe
22 L. Bons, Kamus  Bahasa Belanda,Inggris,Indonesia.1954
23 Kenneth  R. Maryott,Hamerson Juda. Manga wÄ•keng Asaļ ‘u Tau  SangihÄ•
24 Laporan  kunjungan  Gubernur Jendral Belanda di Kerajaan Tabukan 1927
25 Makalah Seminar, Budaya Bahari Dalam Tradisi Lisan Daerah Satal,Paul Nebath,Tahuna,2004
26 Martoji, Sejarah  Untuk  SMP kelas VII,Erlangga2004
27 Materi pelatihan terintegrasi,Ilmu  Pengetahuan  Sosial,2005
28 Muhamad  Yamin, Atlas  Sedjarah,Djambatan 1956
29 N. Graafland, Minahasa  Masa  lalu  dan  Masa  kini
30 Prof. Kong  Yuanzhi, Muslim  Tionghoa,Cheng HO,2005
31 Prof.Dr.J.Turang,dkk. Profil Kebudayaan  Minahasa. Majelsi Kebudayaan   Minahasa,1997
32 Putu Wijaya, Teater,
33 Sastra lisan Bolaang Mongondow
34 Sosiologi  dan  Anthropologi  SMA,1987
35 Tarian Alabadiri, Tim Kesenian Kab Satal,1995
36 Tatimu, hasil  sarasehan  budya,musik  oli’.
37 Toponimi,cerita rakyat dan data sejarah dari kawasan  perbatasan nusa utara,Diknas Kab.Kepl.Sangihe.
38 Wiyoso Yudoseputro, Pengantar wawasan Seni Budaya,Dep P & K, 1993.
39 Metty M. Bawelle, Pengaruh sponsor Terhadap Pengembangan seni Masamper di Kecamatan Malalayang Kotamadya Manado
DAFTAR  NARA  SUMBER
NO NAMA  NARA   SUMBER ALAMAT INFORMASI YANG DITERIMA
1 Gidion  Makamea Tahuna Cerita Gumansalangi

2 Bpk  Mahare Biru Tamo
3 M. Madonsa Tahuna Sejarah Kerajaan
4 R. Radangkilat (alm)
Cerita Apapuhang
5 Bahagia Diamanis Tahuna Cerita Santiago dan Tamo
6 Bpk Barahama Karatung I Cerita Santiago
7 Bpk Letunggamu Pananaru Cerita Dumpaeng
8 Ibu  Antarani Pananaru Tari Gunde
9 Ibu Antarani Kauhis Tamo
10 Bpk. A. Sinadia Kauhis Silsilah Sinadia
11 Bpk. Makansing (alm)
Perahu Sangihe
12 H. Galangbulaeng Karatung II Perahu Sangihe
13 K. Mare Karatung I Masamper
14 Wawu Mawira Manganitu Kehidupan Istana
15 Bpk Ulis (alm) Manganitu Silsilah Raja-raja Manganitu
16. R. Sianaeng Tahuna Rumah Ikat Lehupu
17 Umbure Kalengghihang Manumpitaeng Musik Oli dan Tenun Sangihe
18 Bpk Malemboris Manumpitaeng Upacara Sundeng

source : http://budaya-indonesia.org/SEJARAH-SANGIHE/

0 comments: